UZLAH ADALAH PINTU TAFAKUR

Selasa, 25 Januari 2011

TIADA SESUATU YANG SANGAT BERGUNA BAGI HATI SEBAGAIMANA UZLAH UNTUK MASUK KE MEDAN TAFAKUR.

Kalam-kalam Hikmah pertama hingga ke sebelas telah memberi gambaran tentang keperibadian tauhid yang halus dan mudah. Seseorang yang mencintai Allah s.w.t dan mau berada di sisi-Nya sangat ingin untuk mencapai kepribadian yang demikian. Dalam membentuk kepribadian itu dia gemar mengikuti landasan syariat, rajin beribadah dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan dosa. Dia sering bangun pada malam hari untuk melakukan sholat tahajud dan selalu pula melakukan puasa sunah. Dia menjaga tingkah-laku dan akhlak dengan mencontoh apa yang ditunjukkan oleh Nabi s.a.w. Hasil daripada kesungguhannya itu terbentuklah padanya kepribadian seorang muslim yang baik. Walaupun demikian dia masih tidak mencapai kepuasan dan kedamaian. Dia masih tidak mengerti tentang Allah s.w.t. Banyak persoalan yang timbul di dalam kepalanya yang tidak mampu diuraikannya. Dia telah bertanya kepada mereka yang alim, tetapi dia tidak mendapat jawaban yang memuaskan hatinya. Jika ada pun,  jawaban yang baik disampaikan kepadanya,  dia tidak dapat menghayati apa yang telah diterangkannya itu. Dia mengkaji kitab-kitab tasauf  yang besar-besar. Ulama tasauf  telah memberikan penjelasan yang mampu diterima oleh akalnya namun, dia masih merasakan kekosongan di satu sudut di dalam dirinya. Dapat dikatakan yang dia hanya sampai kepada keterbatasan akalnya.

Hikmah 12 ini memberi petunjuk kepada orang yang gagal mencari jawaban dengan kekuatan akalnya. Jalan yang disarankan ialah uzlah atau mengasingkan diri dari orang ramai. Jika dalam suasana biasa akal tidak mampu memecahkan kebuntuan, dalam suasana uzlah hati mampu membantu akal secara tafakur, merenungi perkara-perkara yang tidak bisa dipikirkan oleh akal biasa. Uzlah yang disarankan oleh Hikmah 12 ini bukanlah uzlah sebagai satu cara hidup yang berkelanjutan, tetapi merupakan satu bentuk latihan kerohanian untuk memantapkan rohani supaya akalnya dapat menerima pancaran Nur Kalbu, karena tanpa sinaran Nur Kalbu tidak mungkin akal dapat memahami hal-hal ketuhanan yang mendetail, dan tidak akan memperoleh iman dan  tauhid yang hakiki.

Hati adalah rohani atau nurani, yaitu hati berkemampuan mengeluarkan nur jika ia berada di dalam keadaan suci bersih. Nur yang dikeluarkan oleh hati yang suci bersih itu akan menerangi otak yang bertempat di kepala yang menjadi kendaraan akal. Akal yang diterangi oleh nur akan dapat mengimani perkara-perkara ghaib yang tidak dapat diterima oleh hukum logika. Beriman kepada perkara ghaib menjadi jalan untuk mencapai tauhid yang hakiki.

Nabi Muhammad s.a.w sebelum diutus sebagai Rasul pernah juga mengalami kebuntuan akal tentang hal ketuhanan. Pada masa itu banyak pendeta Nasrani dan Yahudi yang arif tentang hal tersebut, tetapi Nabi Muhammad s.a.w tidak pergi kepada mereka untuk mendapatkan jawaban yang mengganggu fikiran baginda s.a.w, sebaliknya baginda s.a.w telah memilih jalan uzlah. Ketika umur baginda s.a.w 36 tahun baginda s.a.w melakukan uzlah di Gua Hira. Baginda s.a.w tinggal sendirian di dalam gua yang sempit dan gelap, terpisah dari isteri, anak-anak, keluarga, masyarakat hingga cahaya matahari pun tidak menghampiri baginda s.a.w. Amalan uzlah yang demikian baginda s.a.w lakukan secara berulang-ulang hingga umur baginda s.a.w mencapai 40 tahun. 

Masa yang paling baginda s.a.w gemar beruzlah di Gua Hira ialah pada bulan Ramadan. Latihan uzlah yang baginda lakukan dari umur 36 hingga 40 tahun itu telah memantapkan rohani baginda s.a.w sehingga berupaya menerima tanggungjawab sebagai Rasul. Latihan semasa uzlah telah menyucikan hati baginda s.a.w dan meneguhkannya, sehingga hati itu mampu menerangi akal untuk mentafsir wahyu secara halus dan lengkap. Wahyu yang dibacakan oleh  Jibril a.s hanyalah singkat, tetapi Rasulullah s.a.w dapat menghayatinya, memahaminya dengan tepat, mengamalkannya dengan tepat dan menyampaikan kepada umatnya dengan tepat meskipun baginda s.a.w tidak tahu membaca dan menulis.

Begitulah kekuatan dan kebijaksanaan yang lahir dari latihan semasa uzlah. Tanpa latihan dan persiapan yang cukup seseorang tidak dapat masuk ke dalam medan tafakur tentang ketuhanan. Orang yang masuk ke dalam medan ini tanpa persediaan dan kekuatan akan menemui kebuntuan. Jika dia masih juga menempuh tembok kebuntuan itu, maka dia akan jatuh ke dalam jurang gila.

Orang awam adalah mengurus kehidupan harian dan tugas sambilan dijadikan untuk menghubungkan diri dengan Allah s.w.t”. Orang yang hidup di dalam suasana ini, hanya ada waktu untuk aktivitas tetapi sukar mencari kesempatan untuk bersama-sama Allah s.w.t. Orang yang seperti ini jika diperingatkan supaya mengurangi aktivitas kehidupannya dan hanya memperbanyakkan aktivitas hanya untuk Allah s.w.t, maka mereka memberi alasan bahwa Rasulullah s.a.w dan sahabat-sahabat baginda s.a.w tidak meninggalkan dunia lantaran sibuk dengan Allah s.w.t. Mereka ini lupa atau tidak mengerti bahwa Rasulullah s.a.w dan para sahabat telah mendapat wisal atau penyerapan hal yang berkekalan. Hati mereka tidak berpisah lagi dengan Allah s.w.t. 

Kesibukan dalam urusan harian tidak membuat mereka lupa kepada Allah s.w.t, walau satu detik pun. Orang yang mata hatinya masih tertutup dan cermin hatinya tidak menerima pancaran Nur Sir, tidak mungkin hatinya berhadap kepada Allah  s.w.t ketika sedang sibuk melayani makhluk Allah s.w.t. 

Orang yang insaf akan kelemahan dirinya, akan mengikuti jalan yang dipelopori oleh Rasulullah s.a.w dan diikuti oleh para sahabat, yaitu memisahkan diri dengan semua jenis kesibukan terutama pada satu pertiga malam yang akhir. Tidak ada hubungan dengan orang ramai. Tidak dikunjung dan tidak mengunjungi. Tidak ada surat khabar, radio dan televisi atau yang bersifat keduniawian. Tidak ada berhubungan dengan segala sesuatu kecuali hanya berhubungan kepada Allah s.w.t.

Dalam perjalanan tarekat   tasauf,  amalan uzlah dilakukan dengan bersistematik dan latihan yang demikian dinamakan suluk. Orang yang menjalani suluk dinamakan murid atau salik. Si salik menghabiskan waktunya di dalam bilik khalwat dengan diawasi dan dibimbing oleh gurunya. Latihan bersuluk memisahkan salik dengan hijab yang paling besar bagi orang yang baru menjalani jalan kerohanian, yaitu pergaulan dengan orang ramai. Imannya belum cukup teguh dan mudah menerima rangsangan dari luar, yang bisa menggelincirkannya untuk melakukan maksiat dan melalaikan hatinya daripada mengingat Allah s.w.t. Apabila dia dipisahkan dari dunia luar jiwanya lebih aman dan tenteram mengadakan perhubungan dengan Allah s.w.t.

Semasa beruzlah, bersuluk atau berkhalwat, si murid bersungguh-sungguh di dalam bermujahadah memerangi hawa nafsu dan tarikan duniawi. Dia memperbanyak sholat, puasa dan berzikir. Dia mengurangi tidur, karena memanjangkan masa beribadah. Kegiatan beribadah dan pelepasan ikatan hawa nafsu dan duniawi menjernihkan cermin hatinya. Hati yang suci bersih akan menghadap ke alam ghaib yaitu Alam  Malakut. Hati mampu menerima isyarat-isyarat  dari alam ghaib. Isyarat yang diterimanya hanyalah sebentar, tetapi cukup untuk menarik minatnya untuk mengkaji apa yang ditangkap oleh hatinya itu. Terjadilah pembahasan di antara pikirannya dengan dirinya sendiri. Pada masa yang sama dia menjadi penanya dan penjawab, murid dan pengajar. Perbahasan dengan diri sendiri itu dinamakan tafakur.

Pertanyaan-pertanyaan timbul dalam pikirannya, namun pikirannya tidak dapat memberi jawaban. Ketika pikirannya meraba-raba mencari jawaban, dia mendapat bantuan dari hatinya yang sudah suci bersih. Hati yang berkeadaan seperti ini akan mengeluarkan nur yang menerangi akalnya, lalu jalan pikirannya terus menjadi terang. Suatu persoalan hidup yang pada mulanya dipikirkan sangatlah rumit dan mengelirukan, tiba-tiba menjadi mudah dan terang. Dia mendapat jawaban yang memuaskan hatinya kepada persoalan yang dahulunya mengacau pikiran dan jiwanya. Dia menjadi bertambah berminat untuk bertafakur menguraikan segala kekusutan yang tidak dapat diuraikannya selama ini. Dia gemar merenung atas segala perkara dan membahas dirinya sendiri, menghubungkannya dengan Tuhan sehingga dia mendapat jawaban yang memuaskan hatinya. Semakin dia bertafakur semakin terbukalah kegelapan yang menutupi pikirannya selama itu. Dia mulai memahami tentang hakikat, antara makhluk dengan Tuhan, rahasia kekuatan Ilahi dalam perjalanan alam kehidupan dan sebagainya.

Isyarat-isyarat tauhid yang diterima oleh hatinya membuat mata hatinya melihat tanda-tanda kebesaran Allah s.w.t dalam alam maya ini. Dia dapat melihat bahwa semuanya adalah ciptaan Allah s.w.t dan peraturan-Nya. Hasil dari kegiatan bertafakur tentang Tuhan membawa dia bermakrifat kepada Allah s.w.t melalui akalnya. Makrifat secara akal menjadi petunjuk baginya untuk mencapai makrifat secara zauk ( rasa ).

Dalam pengajian ketuhanan, akal hendaklah tunduk mengakui kelemahan diri. Akal hendaklah sadar bahwa ia tidak mampu memahami perkara ghaib. Oleh sebab itu akal perlu meminta bantuan hati. Hati perlu diasah supaya bercahaya. Dalam proses mengasah hati, akal tidak perlu banyak mengadakan hujah. Hujah akal melambatkan proses pengasahan hati. Sebab itulah Hikmah 12 menganjurkan supaya mengasingkan diri. Di dalam suasana pengasingan, nafsu menjadi lemah dan akal tidak lagi mengikuti hawa nafsu. Dengan demikian barulah hati dapat mengeluarkan cahayanya. Cahaya hati menyuluh kepada alam ghaib. Apabila alam ghaib sudah terang benderang barulah akal mampu memahami hal ketuhanan yang tidak mampu diuraikannya sebelum itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

LISTEN TO QUR'AN

Listen to Quran