SEBARKAN KEBAIKAN MENGIKUTI KEMAMPUAN

Minggu, 14 Agustus 2011
HENDAKLAH BERBELANJA AKAN KEKAYAANNYA BAGI MEREKA YANG TELAH SAMPAI KEPADA ALLAH S.W.T DAN MENURUT KADAR KEMAMPUANNYA BAGI YANG SEDANG BERJALAN KEPADA ALLAH S.W.T.

Hikmah 38 di atas memberikan tes kepada hati seberapa kekuatannya beriman, berserah diri dan yakin dengan janji Allah Ia juga menjadi pengukur tingkat mana seseorang yang berjalan di jalan spiritual itu berada. Hikmat pada menjurus khusus kepada harta kekayaan. Harta merupakan sesuatu yang sangat diperlukan oleh manusia. Manusia membutuhkan harta untuk menanggung kebutuhan hidupnya, bahkan ibadat-ibadat seperti haji dan zakat perlu dilakukan dengan menggunakan harta. Sedekah juga membutuhkan harta. Membuat kebajikan seperti mendirikan masjid, rumah sakit, sekolah dan lain-lain juga membutuhkan harta. Oleh karena besarnya peranan harta kepada kehidupan manusia, maka kebanyakan dari aktivitas manusia berkisar pada soal harta atau ekonomi. Pendidikan dan keterampilan disalurkan ke arah ekonomi. Keberhasilan atau kegagalan dinilai melalui faktor ekonomi. Perhatian manusia selalu tertuju kepada soal ekonomi atau harta dalam membuat sesuatu keputusan.

 Bila harta sudah bertapak dalam jiwa seseorang manusia akan menjual maruah dirinya karena harta. Orang miskin sanggup diperkudakan oleh orang kaya karena harta. Orang kaya sanggup melakukan korupsi dan penganiayaan karena harta. Harta menjadi raja menguasai jiwa raga manusia. Segala sesuatu dinilai dengan harta. Persahabatan harus dibeli dengan harta. Kesetiaan juga harus dibayar dengan harta.

Hikmat pada menarik perhatian orang yang sedang berjalan di jalan spiritual agar memperhatikan hatinya, bagaimana hubungan hatinya dengan harta. Ia menyatakan bahwa orang yang telah sampai kepada Allah dan memperoleh makrifat-Nya tidak seharusnya menyimpan harta, harus dia membelanjakan ke jalan Allah dan yakin dengan janji Allah tentang rezekinya. Orang yang masih dalam perjalanan pula harus membelanjakan ke jalan Allah menurut kesanggupannya. Sejarah banyak menceritakan tentang sikap hamba-hamba pilihan Allah terhadap harta.

 Abu Bakar as-Siddik ra menyumbangkan seluruh hartanya untuk jihad fi-sabilillah, tidak ada satu dirham pun disimpannya. Kapan Rasulullah menanyakan kepadanya mengapa tidak ditinggalkan sedikit buat mengelola kebutuhannya, ia ra menjawab, "Cukuplah Allah dan Rasulullah bagiku".

 Abdurrahman bin Auf yang terkenal dengan kekayaannya, mencari harta bukan untuk kepentingan dirinya tetapi untuk penggunaan menyebarkan agama Allah Salman al-Farisi ketika menjabat amir, tidak mengambil gajinya, sebaliknya beliau menganyam daun kurma untuk dijadikan bakul dan tikar. Hasil anyamannya dijualnya dan apa yang diperolehnya dibagi menjadi tiga bagian. Satu bagian sebagai modal kerja, satu bagian buat belanja anggota rumahnya dan satu bagian lagi disedekahkan kepada kaum miskin.

 Imam as-Syafi'i ra sekembalinya ke Makkah dari Yaman telah dihadiahkan puluhan ribu uang emas. Sebelum memasuki kota Makkah beliau telah mendirikan sebuah tenda di luar kota. Dikumpulkan kaum fakir dan miskin dan disedekahkan semua uang yang diterimanya sebagai hadiah itu. Setelah semua uang itu habis disedekahkan barulah beliau masuk ke kota Makkah.

Rabiatul Adawiah hanya menyimpan sehelai tikar yang usang sebagai sajadah dan sebuah kendi buat mengisi air untuk wuduknya. Beliau tidak menyimpan makanan untuk petangnya. Banyak lagi kisah aulia Allah yang menggambarkan bahwa tidak sebesar zarah pun hati mereka terikat dengan harta. Mereka melihat pengidupan dunia ini hanyalah persinggahan sebentar, tidak perlu mengambil pasokan.

Untuk orang yang masih dalam perjuangan dan belum lagi sampai kepada Allah, mereka tidak sanggup berbuat sebagaimana yang dilakukan oleh aulia Allah Meskipun begitu jika dibiarkan harta melekat pada hati akan membahayakan hati itu sendiri. Oleh itu biasakanlah berpisah dari harta yang disayangi agar rohani akan menjadi lebih kuat dalam perjalanan menuju Allah Allah s.w.t berfirman:
Harus orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya; dan siapa yang disempitkan rezekinya,maka hendaklah ia memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah kepadanya (sekadar yang mampu); Allahtidak membebani seseorang melainkan (sekedar kemampuan) yang diberikan Allah kepadanya. (Orang-orangyang dalam kesempitan harus ingat bahwa) Allah akan memberikan kesenangan sesudah berlakunyakesusahan. (Ayat 7: Surah at-Talaaq)

Oleh karena bidang ekonomi merupakan salah satu fardu kifayah yang harus dikelola demi kesejahteraan dan kekuatan kaum muslimin, maka Allah memilih dari kalangan kaum muslimin orang-orang tertentu yang disederhanakan untuk mereka mengembangkan ekonomi mereka. Allah bukakan untuk mereka pintu-pintu rezeki. Allah kurniakan kepada mereka rezeki yang melimpah-ruah. Mereka seolah-olah berada dalam kondisi menadah bekas dan rezeki dicurahkan ke dalam bekas mereka.
Orang yang menyadari harta kekayaannya adalah karunia Allah, maka harta kekayaan itu menjadi tes baginya. Orang yang tidak menyadarinya pula, maka harta kekayaan itu menjadi alat istidraj yang akan menghempapnya kelak. Baik tes maupun istidraj, orang yang memikul harta sebenarnya memikul beban yang sangat berat. Golongan yang mengalami hisab yang paling halus di akhirat adalah mereka yang di dunia memikul harta.
Meskipun memikul harta merupakan beban yang berat tetapi sebagian kaum muslimin harus mengambil tugas tersebut sebagaimana sebagian kaum muslimin yang mengambil bidang jihad fi-sabilillah dan mati syahid di medan perang. Dari kalangan nabi-nabi juga ada yang memikul tugas yang berhubungan dengan harta, misalnya Nabi Yusuf as, Sulaiman dan Nabi Daud Al-Quran menceritakan tentang Nabi Yusuf a.s:
Dia (Yusuf) berkata: "Jadikanlah aku pengurus perbendaharaan hasil bumi (Mesir); karena sesungguhnya akusiap menjaganya dengan sebaik-baiknya, lagi mengetahui cara mentadbirkannya". (Ayat 55: Surah Yusuf)


Nabi Yusuf as mengetahui sifat dirinya dan kemampuan yang ada dengannya. Beliau as telah menjalani kehidupan yang membuat harta tidak sedikit pun menguasai hatinya. Beliau as juga mengetahui kemampuan mengelola harta yang Allah karuniakan kepadanya. Demi kebaikan orang banyak Nabi Yusuf as menawarkan dirinya kepada raja untuk menjabat manajer harta kekayaan pemerintah Mesir. Raja setuju dengan permintaan Nabi Yusuf as itu dan beliau as membuktikan kewibawaan dan kebijaksanaan beliau as dalam bidang tersebut.

Sulaiman juga mengelola kekayaan dan kekuasaan. Beliau a.s memiliki sifat-sifat yang terpuji. Allah memanggil hamba-Nya, Sulaiman as, sebagai sebaik-baik hamba. Nabi Yusuf as dan Sulaiman mengelola kekayaan dan kekuasaan atas dasar kehambaan kepada Allah :
Dan Kami telah kurniakan kepada Nabi Daud (seorang anak bernama) Sulaiman; ia adalah sebaik-baik hamba (yang kuat beribadah), lagi senantiasa rujuk kembali (bertaubat). (Ayat 30: Surah Saad)


Sulaiman bermohon kepada Allah agar dikaruniakan kepada beliau as pemerintahan yang besar. Kedua mereka, Nabi Yusuf as dan Sulaiman, meminta untuk mengelola bidang tersebut. Ternyata bahwa orang yang bisa mengelola dengan adil bidang tersebut adalah orang yang benar-benar mengenal dirinya, memiliki keyakinan yang teguh, hati yang bulat dan sifat kehambaan yang sebenar-benarnya kepada Allah s.w.t.

Dia (Sulaiman) berkata: "Ya Tuhanku! Ampunkanlah kesilapanku, dan karuniakanlah kepadaku sebuah kerajaan (yang tidak ada taranya dan) yang tidak akan ada pada siapapun kemudian dari padaku; sesungguhnya Engkaulah yang selalu Melimpahkan Karunia-Nya ". (Ayat 35: Surah Saad)
Siapa yang ditakdirkan mengelola bidang kekayaan dan kekuasaan harus menjalankan amanah Allah itu atas dasar kehambaan kepada-Nya dengan sebaik mungkin.
Rate translation

PANDANGAN HATI DAN AKAL

Rabu, 10 Agustus 2011
BERBEDA ANTARA ORANG YANG MENGAMBIL DALIL DENGAN ALLAH S.W.T DENGAN ORANG YANG MENGAMBIL DALIL ATAS-NYA. ORANG YANG MENGAMBIL DALIL DENGAN ALLAH S.W.T ITULAH YANG MENGENAL HAQ DAN MELETAKKANNYA PADA TEMPATNYA DAN MENETAPKAN TERJADINYA SESUATU DARI ASAL MULANYA. MENGAMBIL DALIL ATAS ALLAH S.W.T ADALAH KARENA TIDAK SAMPAI KEPADA-NYA. MAKA BILAKAH ALLAH S.W.T ITU GHAIB SEHINGGA MEMERLUKAN DALIL UNTUK MENYATAKAN-NYA DAN BILAKAN ALLAH S.W.T ITU JAUH SEHINGGA MEMERLUKAN ALAM UNTUK SAMPAI KEPADA-NYA.
 
Nur Ilahi yang menyinari hati memperlihatkan Allah s.w.t terlebih dahulu sebelum yang selain-Nya kelihatan. Akal pula melihat anasir alam dan kejadian-kejadian yang berlaku terlebih dahulu sebelum sampai kepada Tuhan yang mengatur segala urusan. Orang-orang hati  (Alim) melihat Wujud Allah s.w.t mewujudkan alam dan apa yang berlaku di dalamnya dan orang-orang akal  pula melihat wujud alam menjadi dalil kepada Wujud Allah s.w.t.

Orang yang sudah sampai kepada Allah s.w.t (Ilmunya), melihat bahwa Wujud Allah s.w.t adalah Wujud Hakiki dan Wujud Allah s.w.t menerangi wujud makhluk sehingga makhluk menjadi nyata. Orang yang pada peringkat mencari untuk melihat Allah s.w.t itu ghaib dan jauh, dan jalan untuk mengenal Allah s.w.t adalah dengan cara mengenal ciptaan-Nya. Wujud makhluk menjadi bukti kepadanya tentang Wujud Allah s.w.t, karena makhluk tidak terjadi dengan sendirinya.
 
Pemahaman Hikmah 8 telah mengupas golongan mencari dan golongan yang dicari. Orang yang mencari menempuh jalan yang teramat rumit sebelum bertemu dengan yang dicarinya. Contoh terbaik orang yang mencari adalah Salman al-Farisi yang mendapat julukan Pencari Kebenaran. Beliau r.a berasal dari Isfahan. Bapaknya seorang kenamaan yang kaya-raya dan  taat berpegang kuat pada agama Majusi. Salman bertugas menjaga api dan bertanggungjawab mempastikan api itu tidak padam. Suatu hari beliau lalu berkunjung ke gereja Nasrani. 

Beliau tertarik melihat cara orang Nasrani bersembahyang. Setelah bertukar-tukar fikiran dengan mereka dan mempelajari tentang agama Nasrani beliau berpendapat agama Nasrani lebih benar daripada agama Majusi, lalu beliau memeluk agama Nasrani Beliau kemudian pergi ke Syria untuk mendalami pengajian tentang agama Nasrani. Beliau tinggal dengan seorang pendeta dan beliau menjadi pelayan kepada pendeta tersebut sambil beliau belajar Setelah pendeta itu meninggal dunia Salman pergi ke Mosul, untuk memenuhi kehendak wasiat pendeta tersebut. Di sana beliau tinggal dan berkhidmat kepada seorang pendeta juga. Apabila hampir ajalnya pendeta kedua ini mewasiatkan kepada Salman supaya pergi ke Nasibin dan berkhidmat kepada seorang sholeh yang tinggal di sana.  Salman kemudian berpindah ke Nasibin. Pendeta di Nasibin kemudian mewasiatkan kepada Salman agar beliau pergi ke Amuria dan berkhidmat kepada seorang sholeh di sana. 

Salman berpindah pula ke Amuria. Ketika pendeta di Amuria itu hampir menemui ajalnya beliau memberi amanat kepada Salman bahwa sudah hampir masanya kebangkitan seorang nabi yang mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s secara murni. Nabi yang baru muncul itu nanti akan berhijrah ke satu tempat yang banyak ditumbuhi pohon kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam. Tanda-tanda yang jelas tentang kenabiannya ialah dia tidak mahu makan sedekah tetapi menerima hadiah. Di bahunya ada cap kenabian yang bila dilihatnya segera dikenali akan kenabiannya. Setelah pendeta yang memberi amanat itu meninggal dunia berangkatlah Salman mengikuti rombongan Arab dengan menyerahkan kepada mereka lembu-lembu dan kambing-kambingnya. Sampai di Wadi Qura, Salman dianiayai dan dijual kepada orang Yahudi. Kemudian, Salman dijual kepada orang Yahudi yang lain. Tuannya yang baru itu membawanya ke Yasrib. Setelah Salman melihat negeri itu yakinlah dia bahwa itulah negeri yang diceritakan oleh pendeta yang menjaganya dahulu. Apabila Rasulullah s.a.w berhijrah ke Yasrib, Salman datang menemui baginda s.a.w di Quba dan memberikan makanan sebagai sedekah kepada baginda s.a.w dan sahabat baginda s.a.w. Rasulullah s.a.w menyuruh mereka makan tetapi baginda s.a.w tidak menjamah makanan tersebut. 

Keesokan harinya Salman datang lagi membawa makanan sebagai hadiah. Rasulullah s.a.w makan bersama-sama sahabat baginda s.a.w. Semasa Rasulullah s.a.w berada di Baqi’, Salman pergi lagi menemui baginda s.a.w. Rasulullah s.a.w ketika itu memakai dua helai kain lebar, satu sebagai sarung dan satu lagi sebagai baju. Salman menjenguk dan mengintai untuk melihat belakang baginda s.a.w. Rasulullah s.a.w mengerti akan maksud Salman lalu baginda s.a.w menyingkap kain burdah dari leher baginda s.a.w hingga kelihatanlah cap kenabian yang dicari oleh Salman. Melihatnya Salman terus menangis dan menciumnya. Akhirnya beliau temui kebenaran yang beliau telah cari di berbagai tempat.
 
Kisah Salman memberi gambaran betapa sukarnya jalan yang ditempuhi oleh orang yang mencari Allah s.w.t. Di samping mengharungi kehidupan yang sukar mereka juga menuntut ilmu, berguru ke sana ke mari, mencari dalil-dalil dan pembuktian bagi menambah pengetahuan tentang Tuhan. Mereka melihat alam dan kejadian di dalam alam sebagai bukti yang menunjukkan Wujud Allah s.w.t, dan mereka mengkaji alam untuk memahami tentang ke-Esaan Allah s.w.t. Setelah mereka sampai kepada Allah s.w.t mereka melepaskan dalil-dalil lalu berpegang kepada makrifat yang diperolehnya.
 
Golongan yang dicari menempuh jalan yang berbeda. Contoh orang yang dicari adalah Sayidina Umar al-Khattab r.a. Pada awal perkembangan Islam di Makkah umat Islam menghadapi tentangan yang hebat dari pemimpin Quraisy.  Rasulullah s.a.w telah berdoa agar Islam diperkuatkan dengan salah satu Umar, yaitu Umar bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar al-Khattab. Umar al-Khattab ketika itu sangat keras menentang dan menyiksa golongan Islam, terutama yang lemah. Rasa bencinya terhadap agama baru yang merombak adat dan kepercayaan datuk neneknya itu meluap-luap di hatinya. Apabila rasa kebencian itu memuncak beliau mengambil keputusan mau membunuh Rasulullah s.a.w. Umar mencabut pedangnya sambil menuju ke tempat di mana Rasulullah s.a.w berada. 

Di tengah jalan Umar diberitahu bahwa adiknya sendiri pun telah  memeluk Islam. Dia memikirkan bahwa lebih baik jika dia mengurus masalah  internalnya dahulu sebelum membunuh Rasulullah s.a.w. Mendengar berita itu dia pun menuju rumah adiknya. Keadaannya seperti singa bengis kala itu. Ditendangnya pintu rumah adiknya. Pada ketika itu adiknya sedang memegang lembaran yang ditulis dengan ayat al-Quran. Umar memukul adiknya dan merampas lembaran tersebut. Umar adalah seorang cendekiawan yang  dapat membaca, pada masanya dan arif tentang sastra puisi. Setelah Umar membaca wahyu Allah s.w.t, tubuhnya bergetar hebat dan keluarlah ucapan dari mulutnya,” Ini bukan syair yang ditulis oleh penyair yang handal. Ini bukan karya manusia. Tidak ada yang dapat menciptakannya kecuali Tuhan sendiri”. Lalu Umar al-Khattab pergi menghadap Rasulullah s.a.w dan menyatakan keislamannya.
 
Umar al-Khattab membaca ayat al-Quran, Kalam Allah s.w.t dan serta-merta dia melihat kebenarannya. Umar tidak memerlukan kepada alam dan makhluk sekaliannya sebagai dalil dan bukti. Kebenaran itu sendiri menjadi dalil baginya. Kalam Allah s.w.t sendiri yang menyampaikan Umar kepada-Nya. Allah s.w.t yang menerangi hati Umar dengan makrifat-Nya. Makrifatullah yang menerangi makrifat alam sehingga alam itu dikenali melalui sumber  yaitu Allah s.w.t sendiri. Orang yang mencari menyusur dari ranting ke dahan, turun ke batang lalu pergi kepada umbi sebelum menemui benih yang melahirkan pokoknya. Orang yang telah dibawa kepada Tuhan melihat dari asal mulanya, melihat benih yang darinya muncul pokok yang cukup lengkap.
 
Perbedaan arah pemandangan dan pemikiran menyebabkan terjadi perbedaan daya nilai dan daya rasa. Orang akal lebih cenderung kepada kepemahaman falsafah yang berdiri di atas kemanusiaan sejagat yaitu fitrah manusia. Keberkesanan hukum sebab-akibat membentuk formula-formula yang seterusnya melahirkan hukum logika yang dipegang oleh akal. Sukar bagi akal untuk melihat bahwa Allah s.w.t yang meletakkan dan menetapkan keberkesanan hukum sebab-akibat itu. Orang akal memerlukan masa untuk berpikir dan menimbang sehingga mereka melihat dan mengakui  kesempurnaan hukum yang mereka pegang itu. Setelah sampai kepada pengakuan yang demikian barulah mereka beralih memerhatikan apa yang datang dari Tuhan.
 
Orang hati pula terus menyaksikan ketuhanan pada apa yang disaksikan. Mereka melihat perjalanan sebab dan akibat sebagai tadbir Allah s.w.t. Mereka juga mengambil sebab dalam melakukan sesuatu tetapi ketika mengambil sebab itu hati memandang kepada Allah s.w.t, meletakkan semua kepada-Nya yang mentadbir sebab musabab itu, bukan bersandar kepada sebab semata-mata atau alasan lain. Jika sebab gagal menghasilkan akibat menurut hukum logika, orang hati melihat kekuasaan Allah s.w.t mengatasi segala sebab. Orang akal yang berhadapan dengan keadaan yang demikian sering diganggu oleh kekeliruan dan mereka mencari formula baru untuk mengembangkan logika.
 
Walaupun terdapat perbedaan cara memandang tetapi tidak seharusnya berselisihan di antara dua golongan tersebut. Satu golongan harus menghormati daya nilai dan daya rasa golongan yang satu lagi. Walau bagaimana pun orang akal harus sadar bahwa mereka sedang bergerak ke arah daerah orang hati karena iman, ikhlas, berserah diri, takwa dan lain-lain . Nilai baik dalam agama adalah nilai hati yang mengeluarkan niat dan berserah diri.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

LISTEN TO QUR'AN

Listen to Quran