ALLAH S.W.T YANG MENZAHIRKAN ALAM

Sabtu, 29 Januari 2011

ALAM SEMESTA ADALAH KEGELAPAN DAN  YANG MENERANGKANNYA ADALAH KARENA PADANYA KELIHATAN YANG HAQ (TANDA-TANDA ALLAH S.W.T). BARANGSIAPA  MELIHAT ALAM TETAPI DIA TIDAK MELIHAT ALLAH S.W.T  ADA DALAMNYA,  DI SAMPINGNYA,  SEBELUMNYA , ATAU SESUDAHNYA, MAKA DIA BENAR-BENAR MEMERLUKAN WUJUDNYA CAHAYA-CAHAYA ITU DAN TERTUTUP BAGINYA CAHAYA MAKRIFAT OLEH TEBALNYA AWAN BENDA-BENDA ALAM.

Alam ini pada hakikatnya adalah gelap atau ‘adam, tidak wujud. Wujud Allah s.w.t yang menerbitkan kewujudan alam. Tidak ada satu kewujudan yang berpisah daripada Wujud Allah s.w.t. Hubungan Wujud Allah s.w.t dengan kewujudan makhluk dibuat ibarat (sebenarnya tidak ada ibarat yang mampu menjelaskan hakikat yang sebenarnya), perhatikan kepada api yang diputar dengan cepat. Kelihatanlah pada pandangan kita bulatan api. Perhatikan pula kepada orang yang bercakap, akan kedengaranlah suara yang dari mulutnya. Kemudian perhatikan pula kepada kasturi, akan terciumlah baunya yang wangi. Wujud bulatan api adalah wujud yang berkaitan dengan wujud api. Wujud suara adalah wujud yang berkaitan dengan wujud orang yang bercakap. Wujud bau wangi adalah wujud yang berkaitan dengan wujud kasturi. Wujud bulatan api, suara dan bau wangi pada hakikatnya tidak wujud. Begitulah ibaratnya wujud makhluk yang menjadi terbitan daripada Wujud Allah s.w.t.

Wujud bulatan api adalah hasil daripada pergerakan api.  Wujud suara adalah hasil daripada perbuatan orang yang bercakap. Wujud bau wangi adalah hasil daripada sifat kasturi. Bulatan api bukanlah api dan tidak terpisah daripada api. Suara bukanlah orang yang bercakap tetapi bukan pula lain daripada orang yang bercakap. Walaupun orang itu sudah tidak bercakap tetapi masih banyak lagi suara yang tersimpan padanya. Bau wangi bukanlah kasturi tetapi bukan pula lain daripada kasturi. Walaupun bulatan api bisa kelihatan banyak, suara kedengaran banyak, bau dinikmati oleh ramai orang, namun api hanya satu, orang yang bercakap hanya seorang dan kasturi yang mengeluarkan bau hanya satu.

Agak sukar untuk memahami konsep ada tetapi tidak ada, tiada bersama tetapi tidak berpisah. Inilah konsep ketuhanan yang tidak mampu dipecahkan oleh akal tanpa penerangan nur dari lubuk hati. Mata hati yang diterangi oleh Nur Ilahi dapat melihat keterkaitan antara ada dengan tidak ada, tidak bersama tetapi tidak berpisah. Atas kekuatan hatinya menerima sinaran Nur Ilahi menentukan kekuatan mata hatinya melihat kepada keghaiban yang tidak berpisah dengan kejadian alam ini. Ada 4 tingkatan pandangan mata hati terhadap kalam dengan Allah s.w.t yang menciptakan alam. 


1.  Mereka yang melihat Allah s.w.t dan tidak melihat alam ini. Mereka adalah umpama orang yang hanya melihat kepada api, bulatan api yang tidak menyilaukan pandangannya. Walaupun mereka berada di tengah-tengah kesibukan makhluk, namun mata hati mereka tetap tertumpu kepada Allah s.w.t, tidak terganggu oleh kekisruhan makhluk. Lintasan makhluk hanyalah umpama cermin yang ditembusi cahaya. Pandangan mereka tidak melekat pada cermin itu. 


2.  Mereka yang melihat makhluk pada zahir tetapi Allah s.w.t pada batin. Mata hati mereka melihat alam sebagai penzahiran sifat-sifat Allah s.w.t. Segala yang maujud merupakan kitab yang menceritakan tentang Allah s.w.t. Tiap satu kewujudan alam ini membawa sesuatu makna yang menceritakan tentang Allah s.w.t. 

3.   Mereka yang melihat Allah s.w.t pada zahirnya sementara makhluk tersembunyi. Mata hati mereka terlebih dahulu melihat Allah s.w.t sebagai Sumber kepada segala sesuatu, kemudian barulah mereka melihat makhluk yang menerima kurnia daripada-Nya. Alam tidak lain melainkan perbuatan-Nya, gubahan-Nya, lukisan-Nya atau hasil kerja Tangan-Nya (Allah s.w.t. ).

4.  Mereka yang melihat makhluk terlebih dahulu kemudian barulah melihat Allah s.w.t. Mereka memasuki jalan berhati-hati dan berwaspada, memerlukan masa untuk menghilangkan keraguan, berdalil dengan akal sehingga kesudahannya ternyatalah akan Allah s.w.t yang Wujud-Nya menguasai wujud makhluk.


Selain yang dinyatakan di atas tidak lagi dipanggil orang yang melihat Allah s.w.t. Gambar-gambar alam, syahwat, kelalaian dan dosa  menggelapkan cermin hati mereka hingga tidak mampu menangkap cahaya yang membawa kepada makrifat. Mereka gagal  untuk melihat Allah s.w.t sama seperti di dalam sesuatu, di samping sesuatu, sebelum sesuatu atau sesudah sesuatu. Mereka hanya melihat makhluk seolah-olah makhluk berdiri dengan sendiri tanpa campur tangan Tuhan.

Anasir alam dan sekalian peristiwa yang berlaku merupakan perutusan yang membawa berita tentang Allah s.w.t. Berita itu bukan didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata atau dipikir dengan akal. Ia adalah berita ghaib yang menyentuh jiwa. Sentuhan tangan ghaib pada jiwa itulah yang membuat hati mendengar tanpa telinga, melihat tanpa mata dan merenung tanpa akal pikiran. Hati hanya mengerti setiap perutusan yang disampaikan oleh tangan ghaib kepadanya dan hati menerimanya dengan yakin. Keyakinan itu menjadi kunci kepada telinga, mata dan akal. Apabila kuncinya telah dibuka, segala suara alam yang didengar, sekalian anasir alam yang dilihat dan seluruh alam maya yang direnungi akan membawa cerita tentang Tuhan. Abid mendengar, melihat dan merenungi Keperkasaan Tuhan. Asyikin mendengar, melihat dan merenungi keindahan Tuhan. Muttakhaliq mendengar, melihat dan merenungi kebijaksanaan dan kesempurnaan Tuhan. Muwahhid mendengar, melihat dan merenungi keesaan Tuhan.


Yaitu hari mereka keluar (dari kubur masing-masing) dengan jelas nyata; tidak akan tersembunyi kepada Allah sesuatupun darihal keadaan  mereka. (Pada saat itu Allah berfirman): “Siapakah yang menguasai kerajaan pada hari ini?” (Allah sendiri menjawab): “Dikuasai oleh Allah Yang Maha Esa, lagi Yang Maha Mengatasi kekuasaan-Nya segala-galanya!” ( Ayat 16 : Surah Mu’min )

Mereka telah mendustakan mukjizat-mukjizat Kami semuanya, lalu Kami timpakan azab siksa kepada mereka sebagai balasan dari Yang Maha Perkasa, lagi Maha Kuasa. ( Ayat 42 : Surah al-Qamar )


Ayat-ayat  seperti yang di atas menggetarkan jiwa abid. Hati abid sudah ‘berada’ di akhirat. Alam dan kehidupan ini menjadi ayat-ayat atau tanda-tanda untuknya melihat keadaan dirinya di akhirat kelak, menghadap Tuhan Yang Esa, Maha Perkasa, tiada sesuatu yang tersembunyi daripada-Nya.


Dialah yang telah mengaturkan kejadian tujuh lapis langit yang engkau tidak dapat melihat pada ciptaan Allah Yang Maha Pemurah itu dalam keadaan yang tidak seimbang dan tidak munasabah; (jika engkau ragu-ragu) maka ulangi pandangan(mu) - dapatkah engkau melihat dalam keadaan kecacatan? Kemudian ulangilah pandangan(mu) berkali-kali, niscaya pandangan(mu) itu akan berbalik kepadamu dengan hampa (daripada melihat  dalam keadaan kecacatan), sedang ia pula berkeadaan lemah lesu (kerana habis tenaga dengan sia-sia). ( Ayat 3 & 4 : Surah al-Mulk )


Asyikin memandang kepada alam ciptaan dan dia mengulang-ulangi pemandangannya. Semakin dia memandang kepada alam semakin dia melihat kepada keelokan dan kesempurnaan Pencipta alam. Dia asyik dengan apa yang dipandangnya.


Dialah Allah, Yang Menciptakan sekalian makhluk; Yang Mengadakan (dari tiada kepada ada); Yang Membentuk rupa (makhluk-makhluk-Nya menurut yang dikehendaki-Nya); bagi-Nya jualah nama-nama yang sebaik-baiknya dan semulia-mulianya; bertasbih kepada-Nya segala yang ada di langit dan di bumi; dan Dialah Yang tidak ada banding-Nya, lagi Maha Bijaksana. ( Ayat 24 : Surah al-Hasy-r )


Muttakhaliq menyaksikan sifat-sifat Tuhan yang dikenal dengan nama-nama yang baik. Alam adalah perutusan untuknya mengetahui nama-nama Allah s.w.t dan sifat-sifat Kesempurnaan-Nya. Setiap yang dipandang menceritakan sesuatu tentang Allah s.w.t.


Sesungguhnya Akulah Allah; tiada Tuhan melainkan Aku; oleh karena itu sembahlah Aku, dan dirikan sholat untuk mengingat Aku. ( Ayat 14 : Surah Taha )


Muwahhid fana dalam Zat, Kesadaran dirinya hilang. Melalui lidahnya muncul ucapan-ucapan seperti ayat di atas. Dia mengucapkan ayat-ayat Allah s.w.t, bukan dia bertukar menjadi Tuhan.


 Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, lagi Maha Penyayang. 
Segala puji bagi Allah, Tuhan yang memelihara sekalian alam. Yang Maha Pemurah, lagi Maha Penyayang. Yang Menguasai hari Pembalasan (hari Akhirat). Hanya Engkaulah (Ya Allah) yang kami sembah, dan kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang Engkau telah kurniakan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) orang-orang yang Engkau telah murkai, dan bukan pula (jalan) orang-orang  yang sesat. ( Ayat 1 – 7 : Surah al-Faatihah )


Mutahaqqiq kembali kepada kesadaran keinsanan untuk memikul tugas membimbing umat manusia kepada jalan Allah s.w.t. Hatinya sentiasa memandang kepada Allah s.w.t dan bergantung kepada-Nya. Kehidupan ini adalah medan dakwah baginya. Segala anasir alam adalah alat untuk dia supaya memakmurkan bumi.

Apabila Nur Ilahi menerangi hati siapa saja yang dipandang, akan kelihatanlah Allah s.w.t di sampingnya atau sebelumnya atau sesudahnya.

HIJAB YANG MENJADI PENGHALANG PERJALANAN SEORANG HAMBA

Rabu, 26 Januari 2011

BAGAIMANA HATI AKAN DAPAT DISINARI, SEDANGKAN GAMBAR-GAMBAR ALAM MAYA MELEKAT PADA CERMINNYA. ATAU BAGAIMANA MUNGKIN  BERJUMPA KEPADA ALLAH S.W.T SEDANGKAN DIA MASIH DIBELENGGU OLEH SYAHWATNYA. ATAU BAGAIMANA AKAN MASUK KE HADIRAT ALLAH S.W.T , SEDANGKAN DIA MASIH BELUM SUCI DARI JUNUB KELALAIANNYA.  BAGAIMANA MENGHARAP UNTUK MENGERTI RAHASIA-RAHASIA YANG HALUS, SEDANGKAN DIA BELUM TAUBAT DARI DOSANYA .

Hikmah 12 memberi penekanan tentang uzlah yaitu mengasingkan diri. Hikmah 13  memperingatkan bahwa uzlah tubuh badan saja tidak memberi kesan yang baik jika hati tidak ikut beruzlah. Walaupun tubuh badan dikurung hati masih harus mengikuti empat perkara: 

1.  Keinginan terhadap benda-benda alam seperti harta, perempuan, pangkat dan lain-lain. 
2.  Syahwat yang mengarahkan perhatian kepada apa yang dikehendaki. 
3.  Kelalaian yang menutup ingatan terhadap Allah s.w.t. 
4.  Dosa yang tidak dibasuh dengan taubat dan masih mengotorkan hati.


Diri manusia  tersusun dari anasir tanah, air, api dan angin. Ia juga diresapi oleh unsur-unsur alam seperti barang tambang, tumbuh-tumbuhan, hewan, syaitan dan malaikat. Tiap-tiap anasir dan unsur itu menarik hati kepada diri masing-masing. Tarik menarik itu akan menimbulkan kekacauan di dalam hati. Kekacauan itu pula menyebabkan hati menjadi keruh. Hati yang keruh tidak dapat menerima sinaran nur yang melahirkan iman dan tauhid. Mengobati kekacauan hati adalah penting untuk menerima maklumat dari Alam Malakut. Hati yang rusak atau kotor itu bisa distabilkan dengan cara menundukkan semua anasir dan unsur tadi kepada syariat. Syariat menjadi tali yang dapat mengikat musuh-musuh yang dapat mengalahkan hati. Penting bagi seorang murid yang menjalani jalan kerohanian menjadikan syariat sebagai payung yang mengharmonikan perjalanan anasir-anasir dan daya-daya yang menyerap ke dalam diri agar cermin hatinya bebas daripada gambar-gambar alam maya. Bila cermin hati sudah bebas daripada gambar-gambar dan tarikan tersebut, hati dapat menghadap ke Hadirat Ilahi.

Selain tarikan benda-benda alam, hati bisa juga tunduk kepada syahwat. Syahwat bukan saja rangsangan hawa nafsu yang rendah. Semua bentuk kehendak diri sendiri yang berlawanan dengan kehendak Allah s.w.t adalah syahwat. Kerja syahwat adalah mengajak manusia supaya lari dari hukum dan peraturan Allah s.w.t serta membangkang takdir Ilahi. Syahwat membuat manusia tidak ridha dengan keputusan Allah s.w.t. Seseorang yang mau menuju Allah s.w.t perlulah melepaskan dirinya dari belenggu syahwat dan kehendak diri sendiri, lalu masuk ke dalam benteng aslim yaitu berserah diri kepada Allah s.w.t dan ridha dengan takdir-Nya.

Perkara ke tiga yang dibangkitkan oleh Hikma ke 13 ini adalah kelalaian yang diistilahkan sebagai junub batin. Orang yang berjunub adalah tidak suci dan dilarang melakukan ibadah atau memasuki masjid. Orang yang berjunub batin tidak akan bisa berdekatan dengan Hadirat Ilahi. Orang yang di dalam junub batin yaitu kelalaian hati, kedudukannya seperti orang yang berjunub zahir, di mana amal ibadahnya tidak diterima. Allah s.w.t mengancam untuk mencampakkan orang yang melaksanakan shalat dengan lalai (dalam keadaan berjunub batin)  ke dalam neraka wil. Begitu hebat sekali ancaman Allah s.w.t kepada orang yang menghadap-Nya dengan hati yang lalai.

Mengapa begitu hebat sekali ancaman Allah s.w.t kepada orang yang lalai? Bayangkan hati itu berupa dan berbentuk seperti rupa dan bentuk kita yang zahir. Hati yang khusyuk adalah umpama orang yang menghadap Allah s.w.t dengan mukanya, duduk dengan tertib, bertutur kata dengan sopan santun dan tidak berani mengangkat kepala di hadapan Maharaja Yang Maha Agung. Hati yang lalai adalah umpama orang yang menghadap dengan belakangnya, duduk secara biadab, bertutur kata tidak tentu ujung pangkalnya dan kelakuannya sangat tidak sopan. Perbuatan demikian adalah suatu penghinaan terhadap martabat ketuhanan Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Jika raja didunia murka dengan perbuatan demikian maka Raja kepada sekalian raja-raja lebih berhak melemparkan kemurkaan-Nya kepada hamba yang biadab itu dan layaklah jika si hamba yang demikian dimasukan ke dalam neraka wil. Hanya hamba yang khusyuk, yang tahu sopan santun di hadapan Tuhannya dan mengagungkan Tuhannya, maka ia yang layak masuk ke Hadirat-Nya. Sementara hamba yang lalai, tidak tahu bersopan santun tidak layak mendekati-Nya.

Perkara yang ke empat adalah dosa-dosa yang belum ditebus dengan taubat. Dosa-dosanya menjadi penghalang seorang hamba untuk memahami rahasia-rahasia yang halus-halus tentang ketuhanan. Pintu  perbendaharaan Allah s.w.t yang tersembunyi adalah taubat! Orang yang telah mensucikan hatinya hanya mampu berdiri di luar pintu Rahasia Allah s.w.t selagi dia belum bertaubat, samalah seperti orang yang mati syahid yang belum menjelaskan hutangnya terpaksa menunggu di luar syurga. Jika dia mau masuk ke dalam Perbendaharaan Allah s.w.t yang tersembunyi yang mengandungi rahasia yang halus-halus wajiblah bertaubat. Taubat itu sendiri merupakan rahasia yang halus. Orang yang tidak memahami rahasia taubat tidak akan mengerti mengapa Rasulullah s.a.w yang tidak pernah melakukan dosa masih juga memohon keampunan, sedangkan sekalipun baginda s.a.w  berdosa semuanya diampunkan Allah s.w.t. Adakah Rasulullah s.a.w tidak yakin bahwa Allah s.w.t mengampunkan semua dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan baginda s.a.w (jika ada)?

Maksud taubat adalah kembali, yaitu kembali kepada Allah s.w.t. Orang yang melakukan dosa tercampak jauh dari Allah s.w.t. Walaupun orang ini sudah berhenti melakukan dosa malah dia sudah melakukan amal ibadah dengan banyaknya, namun tanpa taubat dia tetap tinggal berjauhan dari Allah s.w.t. Dia telah masuk ke dalam golongan hamba yang melakukan amal salih tetapi yang berjauhan, bukan berdekatan dengan Allah s.w.t. Taubat yang lebih halus adalah penghayatan dalam kalimat:

Tiada daya dan upaya melainkan anugerah Allah s.w.t. 

Kami datang dari Allah s.w.t dan kepada Allah s.w.t kami kembali.

Segala sesuatu datangnya dari Allah s.w.t, baik kehendak maupun perbuatan kita. Sumber yang mendatangkan segala sesuatu adalah Uluhiyah (Tuhan) dan yang menerimanya adalah ubudiyah (hamba). Apa saja yang dari Uluhiyah adalah sempurna dan apa saja yang datang dari ubudiyah adalah tidak sempurna. Uluhiyah membekalkan kesempurnaan tetapi ubudiyah tidak dapat melaksanakan kesempurnaan itu. Jadi, ubudiyah berkewajiban mengembalikan kesempurnaan itu kepada Uluhiyah dengan memohon ampunan dan bertaubat sebagai sarana menampung kecacatan. Segala urusan dikembalikan kepada Allah s.w.t. Semakin tinggi makrifat seseorang hamba, semakin kuat ubudiyahnya dan semakin dia memohon ampunan dari Allah s.w.t, mengembalikan setiap urusan kepada Allah s.w.t, sumber datangnya segala urusan.

Apabila hamba mengembalikan urusannya kepada Allah s.w.t, maka Allah s.w.t sendiri yang akan mengajarkan Ilmu-Nya yang halus-halus agar kehendak hamba itu berkesesuaian dengan Iradat Allah s.w.t. Kuasa hamba yang sesuai dengan Kudrat Allah s.w.t, akan menjadikan hidup seorang hamba sesuai dengan syariat Allah s.w.t. Dan bilamana pengetahuan seorang hamba menjalani hidup sesuai dengan Ilmu Allah s.w.t, maka jadilah hamba tersebut mendengar sesuai Sama’ Allah s.w.t. Jika seorang hamba melihat karena Basar Allah s.w.t, maka berkata-kata pun karena Kalam Allah s.w.t. Apabila semuanya berkumpul pada seorang hamba lainnya, maka jadilah hamba itu Insan Sirullah (Rahasia Allah s.w.t).

UZLAH ADALAH PINTU TAFAKUR

Selasa, 25 Januari 2011

TIADA SESUATU YANG SANGAT BERGUNA BAGI HATI SEBAGAIMANA UZLAH UNTUK MASUK KE MEDAN TAFAKUR.

Kalam-kalam Hikmah pertama hingga ke sebelas telah memberi gambaran tentang keperibadian tauhid yang halus dan mudah. Seseorang yang mencintai Allah s.w.t dan mau berada di sisi-Nya sangat ingin untuk mencapai kepribadian yang demikian. Dalam membentuk kepribadian itu dia gemar mengikuti landasan syariat, rajin beribadah dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan dosa. Dia sering bangun pada malam hari untuk melakukan sholat tahajud dan selalu pula melakukan puasa sunah. Dia menjaga tingkah-laku dan akhlak dengan mencontoh apa yang ditunjukkan oleh Nabi s.a.w. Hasil daripada kesungguhannya itu terbentuklah padanya kepribadian seorang muslim yang baik. Walaupun demikian dia masih tidak mencapai kepuasan dan kedamaian. Dia masih tidak mengerti tentang Allah s.w.t. Banyak persoalan yang timbul di dalam kepalanya yang tidak mampu diuraikannya. Dia telah bertanya kepada mereka yang alim, tetapi dia tidak mendapat jawaban yang memuaskan hatinya. Jika ada pun,  jawaban yang baik disampaikan kepadanya,  dia tidak dapat menghayati apa yang telah diterangkannya itu. Dia mengkaji kitab-kitab tasauf  yang besar-besar. Ulama tasauf  telah memberikan penjelasan yang mampu diterima oleh akalnya namun, dia masih merasakan kekosongan di satu sudut di dalam dirinya. Dapat dikatakan yang dia hanya sampai kepada keterbatasan akalnya.

Hikmah 12 ini memberi petunjuk kepada orang yang gagal mencari jawaban dengan kekuatan akalnya. Jalan yang disarankan ialah uzlah atau mengasingkan diri dari orang ramai. Jika dalam suasana biasa akal tidak mampu memecahkan kebuntuan, dalam suasana uzlah hati mampu membantu akal secara tafakur, merenungi perkara-perkara yang tidak bisa dipikirkan oleh akal biasa. Uzlah yang disarankan oleh Hikmah 12 ini bukanlah uzlah sebagai satu cara hidup yang berkelanjutan, tetapi merupakan satu bentuk latihan kerohanian untuk memantapkan rohani supaya akalnya dapat menerima pancaran Nur Kalbu, karena tanpa sinaran Nur Kalbu tidak mungkin akal dapat memahami hal-hal ketuhanan yang mendetail, dan tidak akan memperoleh iman dan  tauhid yang hakiki.

Hati adalah rohani atau nurani, yaitu hati berkemampuan mengeluarkan nur jika ia berada di dalam keadaan suci bersih. Nur yang dikeluarkan oleh hati yang suci bersih itu akan menerangi otak yang bertempat di kepala yang menjadi kendaraan akal. Akal yang diterangi oleh nur akan dapat mengimani perkara-perkara ghaib yang tidak dapat diterima oleh hukum logika. Beriman kepada perkara ghaib menjadi jalan untuk mencapai tauhid yang hakiki.

Nabi Muhammad s.a.w sebelum diutus sebagai Rasul pernah juga mengalami kebuntuan akal tentang hal ketuhanan. Pada masa itu banyak pendeta Nasrani dan Yahudi yang arif tentang hal tersebut, tetapi Nabi Muhammad s.a.w tidak pergi kepada mereka untuk mendapatkan jawaban yang mengganggu fikiran baginda s.a.w, sebaliknya baginda s.a.w telah memilih jalan uzlah. Ketika umur baginda s.a.w 36 tahun baginda s.a.w melakukan uzlah di Gua Hira. Baginda s.a.w tinggal sendirian di dalam gua yang sempit dan gelap, terpisah dari isteri, anak-anak, keluarga, masyarakat hingga cahaya matahari pun tidak menghampiri baginda s.a.w. Amalan uzlah yang demikian baginda s.a.w lakukan secara berulang-ulang hingga umur baginda s.a.w mencapai 40 tahun. 

Masa yang paling baginda s.a.w gemar beruzlah di Gua Hira ialah pada bulan Ramadan. Latihan uzlah yang baginda lakukan dari umur 36 hingga 40 tahun itu telah memantapkan rohani baginda s.a.w sehingga berupaya menerima tanggungjawab sebagai Rasul. Latihan semasa uzlah telah menyucikan hati baginda s.a.w dan meneguhkannya, sehingga hati itu mampu menerangi akal untuk mentafsir wahyu secara halus dan lengkap. Wahyu yang dibacakan oleh  Jibril a.s hanyalah singkat, tetapi Rasulullah s.a.w dapat menghayatinya, memahaminya dengan tepat, mengamalkannya dengan tepat dan menyampaikan kepada umatnya dengan tepat meskipun baginda s.a.w tidak tahu membaca dan menulis.

Begitulah kekuatan dan kebijaksanaan yang lahir dari latihan semasa uzlah. Tanpa latihan dan persiapan yang cukup seseorang tidak dapat masuk ke dalam medan tafakur tentang ketuhanan. Orang yang masuk ke dalam medan ini tanpa persediaan dan kekuatan akan menemui kebuntuan. Jika dia masih juga menempuh tembok kebuntuan itu, maka dia akan jatuh ke dalam jurang gila.

Orang awam adalah mengurus kehidupan harian dan tugas sambilan dijadikan untuk menghubungkan diri dengan Allah s.w.t”. Orang yang hidup di dalam suasana ini, hanya ada waktu untuk aktivitas tetapi sukar mencari kesempatan untuk bersama-sama Allah s.w.t. Orang yang seperti ini jika diperingatkan supaya mengurangi aktivitas kehidupannya dan hanya memperbanyakkan aktivitas hanya untuk Allah s.w.t, maka mereka memberi alasan bahwa Rasulullah s.a.w dan sahabat-sahabat baginda s.a.w tidak meninggalkan dunia lantaran sibuk dengan Allah s.w.t. Mereka ini lupa atau tidak mengerti bahwa Rasulullah s.a.w dan para sahabat telah mendapat wisal atau penyerapan hal yang berkekalan. Hati mereka tidak berpisah lagi dengan Allah s.w.t. 

Kesibukan dalam urusan harian tidak membuat mereka lupa kepada Allah s.w.t, walau satu detik pun. Orang yang mata hatinya masih tertutup dan cermin hatinya tidak menerima pancaran Nur Sir, tidak mungkin hatinya berhadap kepada Allah  s.w.t ketika sedang sibuk melayani makhluk Allah s.w.t. 

Orang yang insaf akan kelemahan dirinya, akan mengikuti jalan yang dipelopori oleh Rasulullah s.a.w dan diikuti oleh para sahabat, yaitu memisahkan diri dengan semua jenis kesibukan terutama pada satu pertiga malam yang akhir. Tidak ada hubungan dengan orang ramai. Tidak dikunjung dan tidak mengunjungi. Tidak ada surat khabar, radio dan televisi atau yang bersifat keduniawian. Tidak ada berhubungan dengan segala sesuatu kecuali hanya berhubungan kepada Allah s.w.t.

Dalam perjalanan tarekat   tasauf,  amalan uzlah dilakukan dengan bersistematik dan latihan yang demikian dinamakan suluk. Orang yang menjalani suluk dinamakan murid atau salik. Si salik menghabiskan waktunya di dalam bilik khalwat dengan diawasi dan dibimbing oleh gurunya. Latihan bersuluk memisahkan salik dengan hijab yang paling besar bagi orang yang baru menjalani jalan kerohanian, yaitu pergaulan dengan orang ramai. Imannya belum cukup teguh dan mudah menerima rangsangan dari luar, yang bisa menggelincirkannya untuk melakukan maksiat dan melalaikan hatinya daripada mengingat Allah s.w.t. Apabila dia dipisahkan dari dunia luar jiwanya lebih aman dan tenteram mengadakan perhubungan dengan Allah s.w.t.

Semasa beruzlah, bersuluk atau berkhalwat, si murid bersungguh-sungguh di dalam bermujahadah memerangi hawa nafsu dan tarikan duniawi. Dia memperbanyak sholat, puasa dan berzikir. Dia mengurangi tidur, karena memanjangkan masa beribadah. Kegiatan beribadah dan pelepasan ikatan hawa nafsu dan duniawi menjernihkan cermin hatinya. Hati yang suci bersih akan menghadap ke alam ghaib yaitu Alam  Malakut. Hati mampu menerima isyarat-isyarat  dari alam ghaib. Isyarat yang diterimanya hanyalah sebentar, tetapi cukup untuk menarik minatnya untuk mengkaji apa yang ditangkap oleh hatinya itu. Terjadilah pembahasan di antara pikirannya dengan dirinya sendiri. Pada masa yang sama dia menjadi penanya dan penjawab, murid dan pengajar. Perbahasan dengan diri sendiri itu dinamakan tafakur.

Pertanyaan-pertanyaan timbul dalam pikirannya, namun pikirannya tidak dapat memberi jawaban. Ketika pikirannya meraba-raba mencari jawaban, dia mendapat bantuan dari hatinya yang sudah suci bersih. Hati yang berkeadaan seperti ini akan mengeluarkan nur yang menerangi akalnya, lalu jalan pikirannya terus menjadi terang. Suatu persoalan hidup yang pada mulanya dipikirkan sangatlah rumit dan mengelirukan, tiba-tiba menjadi mudah dan terang. Dia mendapat jawaban yang memuaskan hatinya kepada persoalan yang dahulunya mengacau pikiran dan jiwanya. Dia menjadi bertambah berminat untuk bertafakur menguraikan segala kekusutan yang tidak dapat diuraikannya selama ini. Dia gemar merenung atas segala perkara dan membahas dirinya sendiri, menghubungkannya dengan Tuhan sehingga dia mendapat jawaban yang memuaskan hatinya. Semakin dia bertafakur semakin terbukalah kegelapan yang menutupi pikirannya selama itu. Dia mulai memahami tentang hakikat, antara makhluk dengan Tuhan, rahasia kekuatan Ilahi dalam perjalanan alam kehidupan dan sebagainya.

Isyarat-isyarat tauhid yang diterima oleh hatinya membuat mata hatinya melihat tanda-tanda kebesaran Allah s.w.t dalam alam maya ini. Dia dapat melihat bahwa semuanya adalah ciptaan Allah s.w.t dan peraturan-Nya. Hasil dari kegiatan bertafakur tentang Tuhan membawa dia bermakrifat kepada Allah s.w.t melalui akalnya. Makrifat secara akal menjadi petunjuk baginya untuk mencapai makrifat secara zauk ( rasa ).

Dalam pengajian ketuhanan, akal hendaklah tunduk mengakui kelemahan diri. Akal hendaklah sadar bahwa ia tidak mampu memahami perkara ghaib. Oleh sebab itu akal perlu meminta bantuan hati. Hati perlu diasah supaya bercahaya. Dalam proses mengasah hati, akal tidak perlu banyak mengadakan hujah. Hujah akal melambatkan proses pengasahan hati. Sebab itulah Hikmah 12 menganjurkan supaya mengasingkan diri. Di dalam suasana pengasingan, nafsu menjadi lemah dan akal tidak lagi mengikuti hawa nafsu. Dengan demikian barulah hati dapat mengeluarkan cahayanya. Cahaya hati menyuluh kepada alam ghaib. Apabila alam ghaib sudah terang benderang barulah akal mampu memahami hal ketuhanan yang tidak mampu diuraikannya sebelum itu.

TIADA KESEMPURNAAN TANPA IKHLAS

Senin, 24 Januari 2011

TANAMKAN WUJUD KAMU DALAM BUMI YANG TERSEMBUNYI, KARENA  YANG TUMBUH DARI SESUATU YANG TIDAK DITANAM ITU TIDAK SEMPURNA HASILNYA.

Hikmah yang lalu mengarahkan pandangan kita kepada ikhlas. Ikhlas menjadi kekuatan yang menghalau syirik. Jalan syirik adalah kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu diri sendiri  harus diperhatikan untuk menjauhkan perbuatan syirik. Bila kepentingan diri sendiri bisa ditundukkan barulah muncul keikhlasan.

Dan juga pada diri kamu sendiri. Maka mengapa kamu tidak mau melihat serta memikirkan (dalil-dalil dan bukti itu)? ( Ayat 21 : Surah adz-Dzaariyaat )

Hikmah 11 mengajak kita menyelami persoalan yang lebih halus yaitu hakikat diri kita sendiri atau kewujudan kita. Kita dijadikan dari tanah, maka akan kembali kepada tanah, yaitu  jasad harus dilayani sebagai tanah supaya ia tidak mengenakan tipu dayanya. Apabila kita sudah dapat menyekat pengaruh jasad maka kita hadapi pula roh kita. Roh datangnya daripada Allah s.w.t, kerana roh adalah urusan Allah s.w.t, maka kembalikan ia kepada Allah s.w.t. Apabila seorang hamba itu sudah tidak terikat lagi dengan jasad dan roh, maka jadilah dia bekas yang sesuai untuk diisi dengan Allah s.w.t. 

Pada awal perjalanan, seorang pengembara kerohanian membawa sifat-sifat basyariah serta kesadaran terhadap dirinya dan alam nyata. Dia dikawal oleh kehendak, pemikiran, cita-cita, angan-angan dan lain-lain. Anasir-anasir alam seperti galian, tumbuh-tumbuhan dan hewan turut mempengaruhinya. Latihan kerohanian menghancurkan sifat-sifat yang keji dan memutuskan rantaian pengaruh anasir-anasir alam.


Jika diperhatikan Kalam-kalam Hikmah yang lalu dapat dilihat bahwa hijab nafsu dan akal yang membungkus hati membuat kebenaran tidak kelihatan. Akal yang ditutupi oleh kegelapan nafsu, yaitu akal yang tidak menerima pancaran nur, tunduk kepada perintah nafsu. Nafsu tidak pernah kenyang dan akal sentiasa ada jawaban dan alasan. Hujjah akal menjadi benteng yang kokoh buat nafsu tersembunyi. Jangan memandang enteng kepada kekuatan nafsu dalam menguasai akal dan pancaindera. Al-Quran telah memberi peringatan mengenainya:

Nampakkah (wahai Muhammad) keburukan keadaan orang yang menjadikan hawa nafsunya: tuhan yang dipuja lagi ditaati? Maka dapatkah engkau menjadi pengawas yang menjaganya agar jangan sesat? Atau adakah engkau menyangka bahwa kebanyakan mereka mendengar atau memahami (apa yang engkau sampaikan kepada mereka)? Mereka hanyalah seperti binatang ternak, bahkan (bawaan) mereka lebih sesat lagi. ( Ayat 43 & 44 : Surah al-Furqaan )

Dan kalau Kami kehendaki niscaya Kami tinggikan pangkatnya dengan (sebab mengamalkan) ayat-ayat itu. Tetapi ia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya; maka bandingannya adalah seperti anjing, jika engkau menghalaunya: ia menghulurkan  lidahnya , dan jika engkau membiarkannya: ia juga menghulurkan lidahnya. Demikianlah perbandingan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlan kisah-kisah itu supaya mereka mau berfikir. ( Ayat 176 : Surah al-A’raaf )

Manusia yang menerima ayat-ayat Allah s.w.t yang seharusnya menjadi mulia telah bertukar menjadi hina karena mereka mengikuti hawa nafsunya. Ayat-ayat Allah s.w.t yang diketahuinya memancarkan cahaya pada hati dan akalnya tetapi kegelapan nafsu membungkus cahaya itu. Di dalam kegelapan nafsu, akal mengadakan hujah kepada yang mendustakan ayat-ayat Allah s.w.t yang dia sendiri mengetahuinya. Allah s.w.t mengadakan perbandingan yang hina bagi orang yang seperti ini. Mereka adalah umpama anjing, yang tidak bisa berfikir. Buruk sekali orang tersebut dari pandangan Allah s.w.t terhadap orang yang mempertuhankan nafsunya. Nafsu yang besar adalah umpama anjing yang sentiasa menjulurkan lidahnya, tidak memperdulikan walaupun dihalau berkali-kali.

Allah s.w.t mewahyukan ayat-ayat yang menceritakan tentang kehinaan manusia yang menerima ayat-ayat-Nya tetapi masih juga memperturutkan hawa nafsu, supaya cerita yang demikian bisa memberi kesadaran kepada mereka. Jika mereka kembali sadar, mereka akan keluar daripada kegelapan nafsu. Menjalani ayat-ayat Allah s.w.t yang sudah mereka ketahui  dan akan mendapati jalan yang benar.

Ayat-ayat yang diturunkan Allah s.w.t memberi pengertian kepada Rasulullah s.a.w bahwa cendikiawan Arab yang menentang baginda s.a.w berbuat demikian bukan karena tidak dapat melihat kebenaran yang baginda s.a.w bawa, tetapi mereka dikuasai oleh hawa nafsu. Cahaya kebenaran yang menyala dilubuk hati ditutupi oleh kegelapan nafsu. Orang yang telah menerima cahaya kebenaran tetapi mendustakannya itulah yang diberi perumpamaan yang hina oleh Allah s.w.t.

Menurut cerita daripada Ibnu Abbas, pada zaman Nabi Musa a.s ada seorang alim bernama Bal’am bin Ba’ura. Allah s.w.t telah mengurniakan kepada Bal’am rahasia khasiat-khasiat nama-nama Allah Yang Maha Besar. Nabi Musa a.s dan kaum Bani Israil, setelah selamat daripada Firaun, sampai tiba dinegeri tempat tinggal Bal’am. Raja negeri tersebut ketakutan, takut kalau-kalau negerinya diserang oleh kaum yang telah berjaya menewaskan Firaun. Setelah bermusyawarah dengan penasihat-penasihatnya  Raja tersebut memutuskan untuk meminta pertolongan Bal’am agar Bal’am menggunakan ilmunya untuk mengalahkan Nabi Musa a.s. Bal’am yang pada mulanya enggan berbuat demikian tetapi akhirnya setuju juga setelah isteri tercintanya menerima sogokan daripada Raja. Bal’am dengan kekuatan ilmunya dan kemujaraban doanya telah mengenai sekatan kepada Nabi Musa a.s. Menurut cerita, doa dan perbuatan Bal’am dimakbulkan Allah s.w.t dan ia menjadi sebab kaum Nabi Musa terperangkap di Padang Teh beberapa tahun lamanya. Apabila Nabi Musa a.s mendoakan agar kaumnya dilepaskan daripada sekatan tersebut, Allah s.w.t memakbulkan doa tersebut dan pada masa yang sama laknat turun kepada Bal’am.

Sebagian orang menganggap cerita di atas sebagai cerita Israiliat. Rasulullah s.a.w menentukan dasar bahwa cerita ahlul kitab tidak dibenarkan dan tidak didustakan. Cerita tersebut dibawa sekedar menunjukkan sejauh mana kekuatan nafsu menutup pandangan hati sehingga Bal’am sanggup menentang Nabi Musa a.s walaupun dia mengetahui kebenarannya, sebagaimana cendikiawan Arab menentang Rasulullah s.a.w sekalipun hati kecil mereka menerima kebenaran baginda s.a.w. 

Menundukkan nafsu bukanlah pekerjaan yang mudah. Seseorang harus kembali kepada hatinya, bukan akalnya. Hati tidak akan berbohong dengan diri sendiri sekalipun akal menutupi kebenaran atas perintah nafsu. Kekuatan hati adalah ikhlas. Maksud ikhlas yang sebenarnya adalah:


Katakanlah: “Sesungguhnya sembahyangku dan ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah Tuhan yang memelihara dan menyeru  sekalian alam”. ( Ayat 162 : Surah al-An’aam )

Dalam ikhlas tidak ada kepentingan diri. Semuanya karena Allah s.w.t. Selagi kepentingan diri tidak ditanam dalam bumi selama itu ikhlas tidak tumbuh dengan baik. Ia menjadi sempurna apabila wujud diri itu sendiri ditanamkan. Bumi tempat menanamnya adalah bumi yang tersembunyi, jauh daripada perhatian manusia lain. Ia adalah umpama kubur yang tidak bertanda ( gelap-gulita ).

IKHLAS ADALAH ROH IBADAH

AMALAN ZAHIR ADALAH KERANGKA SEDANGKAN ROHNYA ADALAH IKHLAS YANG TERDAPAT DENGAN TERSEMBUNYI DALAM AMALAN ITU.

Amal lahiriah digambarkan sebagai batang tubuh dan ikhlas pula digambarkan sebagai nyawa yang menghidupkan batang tubuh itu. Sekiranya kita kurang mendapat kesan yang baik dari latihan kerohanian hendaklah kita merenung dengan mendalam tentang amal tubuh, apakah ia bernyawa atau tidak.

Hikmah 10 ini menghubungkan amal dengan ikhlas.  Hikmah 9 yang lalu telah menghubungkan amal dengan hal. Kedua-duanya Kalam Hikmah ini membina jembatan yang menghubungkan hal dengan ikhlas, kedua-duanya ada kaitan dengan hati, atau lebih tepat jika dikatakan ikhlas sebagai suasana hati dan hal sebagai Nur Ilahi yang menyinari hati yang ikhlas. Ikhlas menjadi persediaan yang penting bagi hati untuk menyambut kedatangan sinaran Nur Ilahi. Apabila Allah s.w.t berkehendak memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya maka dipancarkan Nur-Nya kepada hati hamba tersebut. Nur yang dipancar kepada hati ini dinamakan Nur Sir atau Nur Rahasia Allah s.w.t. Hati yang diterangi oleh nur akan merasakan hal ketuhanan atau mendapat tanda-tanda tentang Tuhan. Setelah mendapat pertanda dari Tuhan maka hati pun mengenal Tuhan. Hati yang memiliki ciri atau sifat ini dikatakan hati yang mempunyai ikhlas tingkat tertinggi. Tuhan berfirman menggambarkan ikhlas dan hubungannya dengan makrifat:


Dan sebenarnya perempuan itu telah berkeinginan  kepadanya, dan Yusuf pula (mungkin timbul) keinginannya kepada perempuan itu kalaulah ia tidak menyadari kenyataan Tuhannya (tentang kejinya perbuatan zina itu). Demikianlah (takdir Kami), untuk menjauhkan dari Yusuf perkara-perkara yang tidak baik dan perbuatan yang keji, kerana sesungguhnya ia dari hamba-hamba Kami yang dibersihkan dari segala dosa. ( Ayat 24 : Surah Yusuf )


Nabi Yusuf a.s adalah hamba Allah s.w.t yang ikhlas. Hamba yang ikhlas berada dalam pemeliharaan Allah s.w.t. Apabila dia dirangsang untuk melakukan kejahatan dan kekotoran, Nur Rahasia Allah s.w.t akan memancar di dalam hatinya sehingga dia menyaksikan dengan jelas akan tanda-tanda Allah s.w.t dan sekaligus meleburkan rangsangan jahat tadi. Inilah tingkat ikhlas yang tertinggi yang dimiliki oleh orang arif dan hampir dekat dengan Allah s.w.t. Mata hatinya sentiasa memandang kepada Allah s.w.t, tidak pada dirinya dan perbuatannya. Orang yang berada di dalam makam ikhlas yang tertinggi ini sentiasa dalam keridha-an Allah s.w.t baik semasa beramal ataupun diam. Allah s.w.t sendiri yang memeliharanya. Allah s.w.t mengajarkan agar hamba-Nya dekat dengan-Nya dalam keadaan ikhlas.


Dia Yang Tetap Hidup; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah kamu akan Dia dengan mengikhlaskan amal agama kamu kepada-Nya semata-mata. Segala puji bagi Allah, Tuhan yang memelihara dan seru sekalian alam. ( Ayat 65 : Surah al-Mu’min )


Allah s.w.t jua Yang Hidup. Dia yang memiliki segala kehidupan. Dia jualah Tuhan sekalian alam. Apa saja yang ada dalam alam ini adalah ciptaan-Nya. Apa saja yang hidup adalah diperhidupkan oleh-Nya. Jalan dari Allah s.w.t adalah nikmat dan jalan dari hamba kepada-Nya  haruslah ikhlas. Seorang hamba dituntut supaya mengikhlaskan segala  aspek kehidupan untuk-Nya. Dalam melaksanakan tuntutan mengikhlaskan kehidupan untuk Allah s.w.t ini hamba tidak boleh merasa takut dan gentar kepada sesama makhluk.


Oleh itu maka sembahlah kamu akan Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya (dan menjauhi syirik), sekalipun  orang-orang kafir tidak menyukai (amalan yang demikian). ( Ayat 14 : Surah al-Mu’min )


Allah s.w.t telah menetapkan kode etika kehidupan yang perlu dijunjung, dihayati, diamalkan, disebarkan dan diperjuangkan oleh kaum muslimin dengan sepenuh jiwa raga dalam keadaan ikhlas karena Allah s.w.t, meskipun ada orang-orang yang tidak suka, orang-orang yang menghina, orang-orang yang membangkang dan mengadakan perlawanan. Keikhlasan yang diperjuangkan dalam kehidupan dunia ini akan dibawa bersama ketika menemui Tuhan kelak.


Katakanlah: “Tuhanku menyuruhku berlaku adil (pada segala perkara), dan (menyuruh supaya kamu) hadapkan muka (dan hati) kamu (kepada Allah) dengan baik pada tiap-tiap kali mengerjakan sembahyang, dan beribadahlah dengan mengikhlaskan amal agama kepada-Nya semata-mata; sebagaimana Ia telah menjadikan kamu pada mulanya, (demikian pula) kamu akan kembali (kepada-Nya)”. ( Ayat 29 : Surah al-A’raaf )


Sekali pun sukar mencapai peringkat ikhlas yang tertinggi namun, haruslah diusahakan agar diperoleh keadaan hati yang ikhlas dalam segala perbuatan  lahir mau pun  batin. Orang yang telah tumbuh di dalam hatinya rasa cinta kasih kepada Allah s.w.t akan berusaha membentuk hati yang ikhlas. Mata hatinya melihat bahwa Allah jualah Tuhan Yang Maha Agung dan dirinya hanyalah hamba yang hina. Seorang hamba berkewajiban tunduk, patuh dan taat kepada Tuhannya. Orang yang di dalam makam ini beramal karena Allah s.w.t: Sebab Allah s.w.t yang memerintahkan supaya beramal, karena Allah s.w.t berhak ditaati, perintah Allah s.w.t wajib dilaksanakan, semuanya karena Allah s.w.t dan tidak karena sesuatu yang lain. Tingkat golongan ini sudah dapat menahan hawa nafsu dan pesona dunia tetapi dia masih melihat dirinya di samping Allah s.w.t. Dia masih melihat dirinya yang melakukan amal. Dia gembira karena menjadi hamba Allah s.w.t , yang beramal karena Allah s.w.t. Sifat kemanusiaan biasa masih mempengaruhi hatinya.

Setelah kerohaniannya meningkat hatinya dikuasai sepenuhnya oleh kehendak Allah s.w.t, menjadi orang arif yang tidak lagi melihat kepada dirinya dan amalnya, tetapi karena Allah s.w.t, Sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Apa saja yang ada pada diri-nya adalah anugerah Allah s.w.t. Sabar, ridha, tawakal dan ikhlas yang ada padanya, semuanya merupakan anugerah Allah s.w.t, bukan amal yang lahir dari kekuatan dirinya.

Tingkat ikhlas yang paling rendah ialah apabila amal perbuatan bersih daripada riya yang jelas dan samar tetapi masih terikat dengan keinginan kepada pahala yang dijanjikan Allah s.w.t. Ikhlas seperti ini dimiliki oleh orang yang masih kuat bersandar kepada amal, yaitu hamba yang  mentaati Tuannya kerana mengharapkan upah daripada Tuannya itu.

Di bawah daripada tingkatan  ini tidak dinamakan ikhlas juga. Tanpa ikhlas seseorang beramal kerana sesuatu muslihat keduniaan, mau dipuji, karena mau menutupi kejahatannya agar orang percaya kepadanya dan bermacam-macam lagi muslihat yang rendah. Orang dari golongan ini walaupun banyak melakukan amalan namun, amalan mereka adalah umpama tubuh yang tidak bernyawa, tidak dapat menolong tuannya dan di hadapan Tuhan nanti akan menjadi debu yang tidak mensyafa'atkan orang yang melakukannya. Setiap orang yang beriman kepada Allah s.w.t pastilah mengusahakan ikhlas pada amalannya, karena tanpa ikhlas syiriklah yang menyertai amalan tersebut, sebanyak ketiadaan ikhlas itu.


(Amalkanlah perkara-perkara itu) dengan tulus ikhlas kepada Allah, serta tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya. (Ayat 31 : Surah al-Hajj )


“Serta (diwajibkan kepadaku): ‘Hadapkanlah seluruh dirimu menuju (ke arah mengerjakan perintah-perintah) agama dengan baik dan ikhlas, dan janganlah engkau menjadi seperti orang-orang musyrik’”. Dan janganlah engkau (wahai Muhammad) menyembah atau memuja yang lain dari Allah, yang tidak dapat mendatangkan manfaat kepadamu dan tidak juga dapat mendatangkan mudharat kepadamu. Oleh sebab itu, sekiranya engkau mengerjakan yang demikian, maka pada saat itu menjadilah engkau dari orang-orang yang berlaku zalim (terhadap diri sendiri dengan perbuatan syirik itu). ( Ayat 105 & 106 : Surah Yunus )


Daging dan darah binatang korban atau hadiah itu tidak sekali-kali akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya ialah amal yang ikhlas yang berdasarkan takwa dari kamu. (Ayat 37 : Surah al-Hajj )


Allah s.w.t menyeru sekaligus supaya berbuat ikhlas dan tidak berbuat syirik. Ikhlas adalah lawan dari syirik. Jika sesuatu amal itu dilakukan dengan anggapan bahwa ada makhluk yang berkuasa mendatangkan manfaat atau mudharat, maka tidak ada ikhlas pada amal tersebut. Bila tidak ada ikhlas akan adalah syirik yaitu sesuatu atau seseorang yang kepadanya amal itu ditujukan. Orang yang beramal tanpa ikhlas itu dipanggil orang yang zalim, walaupun pada zahirnya dia tidak menzalimi siapapun.

Intisari kepada ikhlas adalah melakukan sesuatu karena Allah s.w.t semata-mata, tidak ada kepentingan lain. Kepentingan diri sendiri merupakan musuh ikhlas yang paling utama. Kepentingan diri lahir daripada nafsu. Nafsu ingin kemewahan, keserakahan, kedudukan, kemuliaan, puji-pujian dan sebagainya. Apa yang lahir daripada nafsu itulah yang sering menghalang atau merusakkan keikhlasan.

AHWAL (HAL-HAL) YANG MENENTUKAN AMAL

Sabtu, 22 Januari 2011
BERBAGAI-BAGAI JENIS AMAL ADALAH KARENA BERBAGAI AHWAL (HAL-HAL)


Hikmah 9 di atas ringkas tetapi padat. Hikmah ini merupakan lanjutan kepada Hikmah 8 yang diuraikan sebelum ini. Hikma yang ke delapan menjelaskan perhentian di hadapan pintu gerbang dan belum menyentuh makrifat. Hikmah ke sembilan ini memberi gambaran tentang makrifat tetapi tidak dikatakan makrifat dan tidak diuraikan secara terus terang sebaliknya disebut sebagai ahwal. Ahwal adalah jamak bagi perkataan hal. Hikmah ini membawa arti hal membentuk keadaan amal. Amal adalah perbuatan atau kelakuan lahiriah dan hal adalah suasana atau kelakuan hati. Amal berkaitan dengan lahiriah manakala hal berkaitan dengan batiniah. Oleh karena hati menguasai sekalian anggota tubuh, maka perbuatan hati adalah hal menentukan bentuk amal yaitu perbuatan lahiriah.

Dalam pandangan tasauf, hal diartikan sebagai pengalaman rohani dalam proses mencapai hakikat dan makrifat. Hal merupakan rasa yang berkaitan dengan hakikat ketuhanan yang melahirkan makrifatullah (pengenalan tentang Allah s.w.t). Oleh sebab itu, tanpa hal tidak ada hakikat dan tidak diperoleh makrifat. Ahli ilmu membina makrifat melalui dalil ilmiah tetapi ahli tasauf  bermakrifat melalui pengalaman tentang hakikat.

Sebelum memperoleh pengalaman hakikat, ahli kerohanian terlebih dahulu memperoleh kasyaf yaitu terbuka keghaiban kepadanya. Ada orang mencari kasyaf yang dapat melihat makhluk ghaib seperti  jin. Dalam proses mencapai hakikat ketuhanan kasyaf yang demikian tidak penting. Kasyaf yang penting adalah yang dapat mengenali tipu daya syaitan yang bersembunyi dalam berbagai bentuk dan suasana dunia ini. Kasyaf yang menerima hakikat, walau apapun rupa yang dihadapi, penting bagi pengembara kerohanian. Rasulullah s.a.w sendiri sebagai ahli kasyaf yang paling unggul hanya melihat Jibril a.s dalam bentuk rupanya yang asli dua kali saja, walaupun pada setiap kali Jibril a.s menemui Rasulullah s.a.w dengan rupa yang berbeda-beda, Rasulullah s.a.w tetap mengenalinya sebagai Jibril a.s. Kasyaf yang seperti inilah yang diperlukan agar seseorang itu tidak tertipu dengan tipu daya syaitan yang menjelma dalam berbagai rupa yang hebat dan menawan sekalipun, seperti rupa seorang yang kelihatan alim dan wara'.

Bila seorang ahli kerohanian memperolehi kasyaf maka dia telah bersedia untuk menerima kedatangan hal atau rasa yaitu pengalaman kerohanian tentang hakikat ketuhanan. Hal ini tidak mungkin diperoleh dengan beramal dan menuntut ilmu. Sebelum ini pernah dinyatakan bahwa tidak ada jalan untuk masuk ke dalam gerbang makrifat. Seseorang hanya mampu beramal dan menuntut ilmu untuk sampai pintu gerbangnya. Apabila sampai di situ seseorang hanya menanti kurnia Allah s.w.t, semata-mata kurnia Allah s.w.t yang membawa makrifat kepada hamba-hamba-Nya. Kurnia Allah s.w.t yang mengandung makrifat itu dinamakan hal. Allah s.w.t memancarkan Nur-Nya ke dalam hati hamba-Nya dan akibat dari pancaran itu hati akan mendapat suatu pengalaman atau terbentuk satu suasana di dalam hati. Misalnya, pancaran Nur Ilahi membuat hati mengalami hal bahwa Allah Maha Perkasa. Apa yang terbentuk di dalam hati itu tidak dapat digambarkan tetapi kesannya dapat dilihat pada tubuhnya yang menggigil hingga dia jatuh pingsan. Pancaran Nur Ilahi membuat hati mengalami hal atau rasa atau merasai keperkasaan Allah s.w.t dan pengalaman ini dinamakan hakikat, yaitu hati mengalami hakikat keperkasaan Allah s.w.t. Pengalaman hati tersebut membuatnya berpengetahuan tentang maksud Allah Maha Perkasa. Jadi, pengalaman yang diperoleh daripada rasa hakikat melahirkan pengetahuan tentang Tuhan. Pengetahuan itu dinamakan makrifat. Orang yang berkenaan dengan ini dikatakan bermakrifat terhadap keperkasaan Allah s.w.t. Oleh sebab itu untuk mencapai makrifat seseorang  haruslah mengalami hakikat. Inilah jenis makrifat yang tertinggi. Makrifat tanpa pengalaman hati adalah makrifat secara ilmu. Makrifat secara ilmu bisa  didapat dengan belajar, sementara secara rasa bisa didapat tanpa belajar. Ahli tasauf tidak berhenti untuk bermakrifat secara ilmu, malah mereka mempersiapkan hati mereka agar sesuai menerima kedatangan makrifat secara rasa.

Ada orang yang memperoleh hal ini sekali saja dan dikuasai oleh hal dalam tempuh yang tertentu saja dan ada juga yang  kekal di dalam hal. Hal yang berterusan atau berkekalan dinamakan wisal yaitu penyerapan hal secara berterusan, kekal atau baqa. Orang yang mencapai wisal akan terus hidup dengan cara hal yang berkenaan dengannya. Hal-hal (ahwal) dan wisal  dibagi lima jenis:

1. Abid

Abid adalah orang yang dikuasai oleh hal atau rasa yang membuat dia merasakan secara  mendalam, bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak mempunyai daya dan upaya untuk melakukan sesuatu. Kekuatan, keupayaan, bakat-bakat dan apa saja yang ada dengannya adalah  daya dan upaya yang daripada Allah s.w.t. Semuanya itu adalah kurnia-Nya semata-mata. Allah s.w.t sebagai Pemilik, apabila Dia memberi, maka Dia berhak mengambil kembali pada masa yang Dia kehendaki. Seorang abid benar-benar bersandar kepada Allah s.w.t hingga sekiranya dia melepaskan sandaran itu dia akan jatuh, tidak berdaya, tidak boleh bergerak, karena dia benar-benar melihat dirinya kehilangan apa yang datang padanya dari Allah s.w.t. Hal atau suasana  yang menguasai hati abid itu akan melahirkan amal atau kelakuan sangat kuat untuk beribadah, tidak memperdulikan dunia dan isinya, tidak mengambil bagian dalam urusan orang lain, sangat takut berjauhan dari Allah s.w.t dan gemar bersendirian. Dia merasakan apa saja yang selain Allah s.w.t akan menjauhkan dirinya daripada Allah s.w.


2. Asyikin

Asyikin ialah orang yang mendapat asyik dengan sifat Keindahan Allah s.w.t. Rupa, bentuk, warna dan ukuran tidak menjadi soal kepadanya karena apa saja yang dilihatnya menjadi cermin yang dia melihat Keindahan serta Keelokan Allah s.w.t di dalamnya. Amal atau perbuatan asyikin ialah gemar merenung alam maya dan memuji Keindahan Allah s.w.t pada apa yang disaksikannya. Dia bersandar menikmati keindahan alam beberapa jam tanpa merasa jemu. Kilauan ombak dan titikan hujan memukau pandangan hatinya. Semua yang kelihatan adalah warna Keindahan dan Keelokan Allah s.w.t. Orang yang menjadi asyikin tidak memperdulikan lagi adab dan peraturan masyarakat. Kesadarannya bukan lagi pada alam ini. Dia mempunyai alamnya sendiri yang di dalamnya hanyalah Keindahan Allah s.w.t.


3. Muttakhaliq

Muttakhaliq adalah orang yang mencapai yang Haq dan bertukar sifatnya. Hatinya dikuasai oleh suasana  Qurbi Faraidh atau Qurbi Nawafil. Dalam Qurbi Faraidh, muttakhaliq merasakan dirinya adalah alat dan Allah s.w.t menjadi Pengguna alat. Dia melihat perbuatan atau kelakuan dirinya terjadi tanpa dia merancang dan campur tangan, bahkan dia tidak mampu mengubah apa yang akan terjadi pada kelakuan dan perbuatannya. Dia menjadi orang yang berpisah daripada dirinya sendiri. Dia melihat dirinya melakukan sesuatu  perbuatan seperti dia melihat orang lain yang melakukannya, yang dia tidak berdaya mengawal atau mempengaruhinya. Hal Qurbi Faraidh adalah dia melihat bahwa Allah s.w.t melakukan apa yang Dia kehendaki. Perbuatan dia sendiri adalah gerakan Allah s.w.t, dan diamnya juga adalah gerakan Allah s.w.t. Orang ini tidak mempunyai kehendak sendiri, tidak ada ikhtiar dan tadbir. Apa yang mengenai dirinya, seperti perkataan dan perbuatan, berlaku secara spontan. Kelakuan atau amal Qurbi Faraidh ialah bercampur-campur di antara logik dengan tidak logik, mengikuti adat dengan merombak adat, kelakuan alim dengan jahil. Dalam banyak perkara penjelasan yang bisa diberikannya ialah, “Tidak tahu! Allah s.w.t berbuat apa yang Dia kehendaki”.


Dalam suasana Qurbi Nawafil pula muttakhaliq melihat dengan mata hatinya sifat-sifat Allah s.w.t yang menguasai bakat dan keupayaan pada sekalian anggotanya dan dia menjadi pelaku atau pengguna sifat-sifat tersebut, yaitu dia menjadi khalifah dirinya sendiri. Hal Qurbi Nawafil ialah berbuat dengan izin Allah s.w.t karena Allah s.w.t mengurniakan kepadanya kebolehan untuk berbuat sesuatu. Contoh Qurbi Nawafil adalah kelakuan Nabi Isa a.s yang membentuk rupa burung dari tanah liat lalu menyuruh burung itu terbang dengan izin Allah s.w.t, juga perbuatan beliau a.s menyeru orang mati supaya bangkit dari kuburnya. Nabi Isa a.s melihat sifat-sifat Allah s.w.t yang diizinkan menjadi bakat dan keupayaan beliau a.s, sebab itu beliau a.s tidak ragu-ragu untuk menggunakan bakat tersebut menjadikan burung dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah s.w.t.

4. Muwahhid

Muwahhid fana dalam zat, zatnya lenyap dan Zat Mutlak yang menguasainya. Hal bagi muwahhid ialah dirinya tidak ada, yang ada hanya Allah s.w.t. Orang ini telah putus hubungannya dengan kesadaran basyariah dan sekalian maujud. Perbuatan atau amalnya tidak lagi seperti manusia biasa karena dia telah terlepas dari sifat-sifat kemanusiaan dan kemakhlukan. Misalnya dia bernama Abdullah, dan jika ditanya kepadanya di manakah Abdullah, maka dia akan menjawab Abdullah tidak ada, yang ada hanyalah Allah! Dia benar-benar telah lenyap dari ke‘Abdullah-an’ dan benar-benar dikuasai oleh ke‘Allah-an’. Ketika dia dikuasai oleh hal dia terlepas daripada beban hukum syara'. Dia mungkin mengatakan, “Akulah Allah! Maha Suci Aku! Sembahlah Aku!” Dia telah fana dari ‘aku’ dirinya dan dikuasai oleh kewujudan ‘Aku Hakiki’. Walau bagaimana pun sikap dan kelakuannya dia tetap dalam keridha-an Allah s.w.t. Apabila dia tidak dikuasai oleh hal, kesadarannya kembali dan dia menjadi ahli syariat yang taat. Perlu diketahui bahwa hal ini tidak boleh dibuat-buat dan orang yang dikuasai oleh hal tidak berupaya menahannya.  Bila dia mengatakan , “Akulah Allah!” bukan bermakna dia mengaku telah menjadi Tuhan, tetapi dirinya telah fana, apa yang terucap melalui lidahnya sebenarnya adalah dari Allah s.w.t. Allah s.w.t yang mengatakan Dia adalah Tuhan dengan menggunakan lidah muwahhid yang sedang fana itu.


Berbeda pula golongan mulhid. Si mulhid tidak dikuasai oleh hal, tidak ada rasa, tetapi berkelakuan dan berbicara seperti orang yang di dalam rasa. Orang ini dikuasai oleh ilmu tentang hakikat bukan mengalami hakikat secara rasa. Si mulhid membuang syariat serta beriman berdasarkan ilmu semata-mata. Dia berpuas hati berbicara tentang iman dan tauhid tanpa beramal menurut tuntutan syariat. Orang ini berkata sebagai Tuhan sedangkan dia di dalam kesadaran kemanusiaan, masih dengan keinginan hawa nafsu. Orang-orang sufi bersepakat mengatakan bahwa siapa yang mengatakan, “Ana al-Haq!” sedangkan dia masih sadar tentang dirinya maka orang tersebut adalah sesat dan kufur!

5.  Mutahaqqiq

Mutahaqqiq ialah orang yang setelah fana dalam zat turun kembali kepada kesadaran sifat, seperti yang terjadi kepada nabi-nabi dan wali-wali demi melaksanakan amanat sebagai khalifah Allah di atas muka bumi dan kehidupan dunia yang wajib diuruskan. Dalam kesadaran zat seseorang tidak keluar  dari khalwatnya dengan Allah s.w.t dan tidak peduli tentang keruntuhan rumah tangga dan kehancuran dunia seluruhnya. Sebab itu orang yang demikian tidak boleh dijadikan pemimpin. Dia mesti turun kepada kesadaran sifat, barulah dia boleh memimpin orang lain. Orang yang telah mengalami kefanaan dalam zat kemudian disadarkan dalam sifat adalah benar-benar pemimpin yang dilantik oleh Allah s.w.t menjadi Khalifah-Nya untuk memakmurkan makhluk Allah s.w.t dan memimpin umat manusia menuju jalan yang diridhai Allah s.w.t. Orang inilah yang menjadi ahli makrifat yang sejati, ahli hakikat yang sejati, ahli tarekat   yang sejati dan ahli syariat yang sejati, berkumpul padanya dalam satu kesatuan yang menjadikannya Insan Rabbani. Insan Rabbani peringkat tertinggi ialah para nabi-nabi dan Allah s.w.t kurniakan kepada mereka maksum, sementara yang tidak menjadi nabi dilantik sebagai wali-Nya yang diberi perlindungan dan pemeliharaan.


Ahwal (hal-hal) yang menguasai hati nurani berbeda-beda, dengan itu akan mencetuskan kelakuan amal yang berbeda-beda. Ahwal yang harus difahami dengan sebenar-benarnya oleh orang yang memasuki latihan tarekat kerohanian, supaya dia mengetahui, dalam amal yang bagaimanakah dia mendapat kedamaian dan mencapai maksud dan tujuan, apakah dengan sembahyang, zikir atau puasa. Dia harus berpegang teguh kepada amal yang dicetuskan oleh hal tadi, agar dia cepat dapati dan selamat sampai ke puncak.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

LISTEN TO QUR'AN

Listen to Quran