KETEGUHAN BENTENG TAKDIR

Senin, 17 Januari 2011

KEKUATAN SEMANGAT (AZAM, CITA-CITA, IKHTIAR) TIDAK BERUPAYA MEMECAHKAN BENTENG TAKDIR.

Kalam Hikmah yang pertama menyentuh tentang hakikat amal yang membawa kepada pengertian tentang amal zahir dan amal batin. Ia mengajak kita memerhatikan amal batin (suasana hati) berhubung dengan amal zahir yang kita lakukan. Sebagai manusia biasa hati kita cenderung untuk menaruh harapan dan meletakkan pergantungan kepada keberkesanan amal zahir. Hikmat kedua memperjelaskan mengenainya dengan membuka pandangan kita kepada suasana asbab dan tajrid. Bersandar kepada amal terjadi kerana seseorang itu melihat kepada keberkesanan sebab dalam melahirkan akibat. Apabila terlepas daripada waham sebab musabab baharulah seseorang itu masuk kepada suasana tajrid.
 
Dua Hikmah yang lalu telah memberi pendidikan yang halus kepada jiwa. Seseorang itu mendapat kepahaman bahwa bersandar kepada amal bukanlah jalannya. Pengertian yang demikian melahirkan kecenderungan untuk menyerah bulat-bulat kepada Allah s.w.t. Sikap menyerah tanpa persediaan kerohanian bisa menggoncangkan iman. Agar orang yang sedang meningkat semangatnya tidak terkeliru memilih jalan, dia diberi pengertian mengenai  kedudukan asbab dan tajrid. Pemahaman tentang makam asbab dan tajrid membuat seseorang mendidik jiwanya agar menyerah kepada Allah s.w.t dengan cara yang benar dan selamat, bukan menyerah dengan cara yang sering diulang-ulang.
 
Hikmah ke tiga ini pula mengajak kita merenung kepada kekuatan benteng takdir yang memagar segala sesuatu. Ketika membincangkan tentang ahli tajrid, kita dapati ahli tajrid melihat kepada kekuasaan Tuhan yang meletakkan keberkesanan kepada sesuatu sebab dan menetapkannya dalam melahirkan akibat, Ini bermakna semua kejadian dan segala hukum mengenai suatu perkara berada di dalam pentadbiran Allah s.w.t. Dia yang menguasai, mengatur dan mengurus setiap makhluk-Nya. Urusan ketuhanan yang menguasai, mengatur dan mengurus atau suasana pentadbiran Allah s.w.t itu dinamakan takdir. Tidak ada sesuatu yang tidak dikuasai-Nya, diatur dan diurus oleh Allah s.w.t. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang tidak termasuk di dalam takdir.
 
Manusia terhijab dalam masalah kepada takdir, karena tidak mengerti sebab musabab. Pendirian seseorang menjadi alat sebab musabab dalam menghijab pandangan hati daripada melihat kepada takdir. Keinginan, cita-cita, angan-angan, semangat, akal pikiran dan usaha menutupi hati daripada melihat kepada kekuasaan, aturan dan urusan Tuhan. Hijab diri itu jika disimpulkan bisa dilihat sebagai hijab nafsu dan hijab akal. Nafsu yang melahirkan keinginan, cita-cita, angan-angan dan semangat. Akal menjadi perangkat hawa nafsu, menimbang, merancang dan mengadakan usaha untuk mencapai apa yang dicetuskan oleh nafsu. Jika nafsu inginkan sesuatu yang baik, akal bergerak kepada kebaikan itu. Jika nafsu inginkan sesuatu yang buruk, akal itu juga yang bergerak kepada keburukan. Dalam banyak perkara akal tunduk kepada arahan nafsu, bukan menjadi penasihat nafsu. Oleh sebab itulah di dalam menundukkan nafsu tidak boleh meminta pertolongan akal.
 
Dalam proses memperoleh penyerahan secara menyeluruh kepada Allah s.w.t terlebih dahulu akal dan nafsu perlu ditundukkan kepada kekuatan takdir. Akal mesti mengakui kelemahannya di dalam membuka simpul takdir. Nafsu harus menerima hakikat kelemahan akal dalam perkara tersebut dan ikut tunduk bersama-samanya. Bila nafsu dan akal sudah tunduk barulah hati  beriman dengan sebenarnya kepada takdir.
 
Beriman kepada takdir seharusnya melahirkan pengetahuan, bukan menyerah kepada kejahilan. Orang yang jahil tentang hukum dan perjalanan takdir tidak dapat berserah diri dengan sebenarnya kepada Allah s.w.t, karena dibalik kejahilannya itulah nafsu akan menggunakan akal untuk menimbulkan keraguan terhadap Allah s.w.t.


Rohani orang yang jahil dengan hakikat takdir itu  masih terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan biasa. Dia masih melihat bahwa makhluk bisa mendatangkan kesan dalam kehidupannya. Tindakan orang lain dan kejadian-kejadian sering mengacau jiwanya. Keadaan yang demikian menyebabkan dia tidak dapat bertahan untuk terus berserah diri kepada Tuhan. Sekiranya dia memahami tentang hukum dan peraturan Tuhan dalam perkara takdir, tentu dia dapat bertahan dengan iman. Hadist menceritakan tentang takdir sebagai berikut:

"Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w, “Wahai Rasulullah, apakah iman itu?” Jawab Rasulullah s.a.w, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Kemudian. Juga engkau beriman dengan Qadar baik dan buruknya, manis dan pahitnya adalah dari Allah s.w.t”. { Al Hadis }

Pandangan kita sering keliru dalam memandang kepada takdir. Kita dikelirukan oleh istilah-istilah yang biasa kita dengar. Kita cenderung untuk merasakan seolah-olah Allah s.w.t hanya menentukan yang asas saja, sementara yang halus-halus ditentukan-Nya. Kemudian seolah-olah Dia  Melihat dan Mengkaji perkara, setelahnya Dia membuat keputusan. Kita merasakan apabila kita berjuang dengan semangat yang gigih untuk mengubah perkara dasar yang telah Allah s.w.t tetapkan, dan Dia Melihat kegigihan kita itu dan bersimpati dengan kita lalu Dia pun membuat ketentuan baru supaya terlaksana takdir baru yang sesuai dengan perjuangan kita. Kita merasakan kehendak dan tadbir kita berada di hadapan, sementara Kehendak dan Tadbir Allah s.w.t mengikut di belakang. Anggapan dan perasaan yang demikian bisa membawa kepada kesesatan  dan kedurhakaan yang besar karena kita meletakkan diri kita pada taraf Tuhan, dan Tuhan pula kita letakkan pada taraf hamba yang menurut telunjuk kita. Kita bisa menjauhkan diri daripada kesesatan dan kedurhakaan yang besar itu. Kita perlu memahami soal sunnatullah atau ketentuan Allah s.w.t. Segala kejadian berlaku menurut ketentuan dan pentadbiran Allah s.w.t. Tidak ada yang berlaku secara kebetulan. Ilmu Allah s.w.t meliputi yang awal dan yang akhir, yang azali dan yang abadi. Apa yang dizahirkan dan apa yang terjadi telah ada pada Ilmu-Nya.

Tidak ada sesuatu kesusahan (atau bala  bencana) yang ditimpakan di bumi, dan tidak juga yang menimpa diri kamu, melainkan telah ada di dalam Kitab (pengetahuan Kami)  sebelum Kami menjadikannya; sesungguhnya  yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Ayat 22 : Surah al-Hadiid)


Maha Barokah (serta Maha Tinggilah kelebihan) Tuhan yang menguasai pemerintahan (dunia dan akhirat); dan memanglah Ia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu; - ( Ayat 1 : Surah al-Mulk )

Dan Yang telah mengatur (keadaan makhluk-makhluk-Nya) serta memberikan hidayah  petunjuk (ke jalan keselamatannya dan kesempurnaannya); ( Ayat 3 : Surah al-A’laa)

Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air (di sana sini), lalu bertemulah air (langit dan bumi) itu untuk (melakukan) satu perkara  yang telah ditetapkan. (Ayat 12 : Surah al-Qamar)

Segala perkara, kita tidak mengerti apa istilah  yang digunakan, padahal termasuk dalam ketentuan Allah s.w.t. Apa yang kita istilahkan sebagai perjuangan, ikhtiar, doa, kekeramatan, mukjizat dan lain-lain semuanya adalah ketentuan Allah s.w.t. Pagar takdir mengelilingi segala-galanya dan tidak ada sebesar zarah pun yang mampu menembus benteng takdir yang maha teguh. Tidak akan terjadi perjuangan dan ikhtiar melainkan perjuangan dan ikhtiar tersebut telah ada dalam pagar takdir. Tidak berdoa orang yang berdoa melainkan halnya berdoa itu adalah takdir untuknya yang sesuai dengan ketentuan Allah s.w.t untuknya. Perkara yang didoakan juga tidak lari daripada ketentuan Allah s.w.t. Tidak berlaku karomah dan mukjizat melainkan karomah dan mukjizat itu adalah takdir yang tidak menyimpang daripada pentadbiran Allah s.w.t. Tidak menghirup satu nafas atau berdenyut satu nadi melainkan dirinya adalah takdir yang menzahirkan urusan Allah s.w.t.

                  Sesungguhnya kami datang dari Allah dan kepada Allah kami kembali.

Segala perkara datangnya dari Allah s.w.t atau Dia yang mengadakan ketentuan tanpa campurtangan siapa pun. Segala perkara kembali kepada-Nya karena Dialah yang memastikan hukum ketentuan-Nya terlaksana tanpa siapa pun mampu menyekat urusan-Nya.
 
Apabila sudah dipahami bahwa usaha, ikhtiar, menyerah diri dan segala-galanya adalah takdir yang menurut ketentuan Allah s.w.t, maka seseorang itu tidak lagi merasa bingung bila ada niat mau berikhtiar atau berserah diri kepada Allah s.w.t. Ikhtiar dan berserah diri sama-sama berada di dalam pagar takdir. Jika seseorang menyadari makamnya  asbab atau tajrid maka dia hanya perlu bertindak sesuai dengan makamnya. Ahli asbab perlu berusaha dengan gigih menurut keadaan hukum sebab-akibat. Apapun juga hasil yang muncul dari usahanya diterimanya dengan senang hati karena dia tahu hasil itu juga adalah takdir yang ditadbir oleh Allah s.w.t. Jika hasilnya baik dia akan bersyukur karena dia tahu bahwa kebaikan itu datangnya dari Allah s.w.t. Jika tidak ada ketentuan baik untuknya niscaya tidak mungkin dia mendapat kebaikan. Jika hasil yang buruk  sampai kepadanya dia akan bersabar karena dia tahu apa yang datang kepadanya itu adalah menurut ketentuan Allah bukan tunduk kepada usaha dan ikhtiarnya. Walaupun hasil yang tidak sesuai dengan seleranya  datang kepadanya, tetapi usaha baik yang dilakukannya tetap diberi pahala dan keberkahan oleh Allah s.w.t sekiranya dia bersabar dan rela atas takdir yang sampai kepadanya itu.
 
Ahli tajrid pula hendaklah tenang dengan suasana kehidupannya dan tetap yakin dengan jaminan Allah s.w.t. Dia tidak harus merungut (berdiam diri)  jika terjadi kekurangan pada rezekinya atau kesusahan menimpanya. Suasana kehidupannya adalah takdir yang sesuai dengan apa yang Allah s.w.t tentukan. Rezeki yang sampai kepadanya adalah ketentuan Allah s.w.t. Jika terjadi kekurangan atau kesusahan maka ia masih di dalam pagar takdir yang ditentukan oleh Allah s.w.t. Begitu juga jika terjadi keberkahan dan kekaromahan pada dirinya, maka dia harus melihat itu sebagai takdir yang menjadi bagiannya.
 
Persoalan takdir berkait rapat dengan persoalan hakikat. Hakikat membawa pandangan yang banyak kepada yang satu. Perhatikan kepada sebiji benih kacang. Setelah ditanam benih yang kecil itu akan tumbuh dengan sempurna, mengeluarkan beberapa banyak buah kacang. Buah kacang tersebut dijadikan pula benih untuk menumbuhkan pokok-pokok kacang yang lain. Begitulah seterusnya sehingga kacang yang bermula hanya satu biji benih, menjadi jutaan  kacang. Kacang yang sejuta tidak ada bedanya dengan kacang yang pertama. Benih kacang yang pertama itu bukan saja berkemampuan untuk menjadi sebatang pokok kacang, malah ia mampu mengeluarkan semua generasi kacang hingga hari kiamat. Ia hanya dapat mengeluarkan kacang, tidak benda lain. Itulah ketentuan dan kekuasaan Allah s.w.t.
 
Kajian akal bisa memperakui bahwa semua kacang mempunyai zat yang sama, yaitu zat kacang. Zat kacang pada benih pertama serupa dengan zat kacang pada yang ke satu juta,  kacang tersebut adalah zat yang sama atau yang satu. Zat kacang yang satu itulah ‘bergerak’ pada semua kacang, memastikan kacang akan menjadi kacang, tidak menjadi benda lain. Walaupun diperakui kewujudan zat kacang yang mengawal pertumbuhan kacang, namun zat kacang itu tidak mungkin ditemui pada semua kacang. Ia tidak berupa dan tidak mendiami semua kacang, tetapi ia tidak berpisah dengan semua kacang. Tanpanya tidak mungkin ada kewujudan kacang. Zat kacang ini dinamakan “Hakikat Kacang”. Ia adalah suasana ketuhanan yang mentadbir dan mengawal seluruh pertumbuhan kacang dari permulaan hingga kesudahan, sampai ke hari kiamat. Hakikat Kacang inilah suasana pentadbiran Allah s.w.t yang Dia telah tentukan untuk semua kejadian kacang. Apa saja yang dikuasai oleh Hakikat Kacang tidak ada pilihan kecuali menjadi kacang.
 
Suasana pentadbiran Allah s.w.t yang mentadbir dan mengawal kewujudan keturunan manusia pula dinamakan “Hakikat Manusia” atau “Hakikat Insan”. Allah s.w.t telah menciptakan manusia yang pertama, yaitu Adam a.s. Menurut Hakikat Insan yang ada pada sisi-Nya. Pada kejadian Adam a.s itu telah disimpankan bakat dan keupayaan untuk melahirkan semua keturunan manusia hingga hari kiamat. Manusia akan tetap melahirkan manusia karena hakikat yang menguasainya adalah Hakikat Manusia.
 
Pada Hakikat Manusia itu ada hakikat yang menguasai satu individu manusia dan  keterkaitannya dengan segala kejadian alam yang lain. Seorang manusia yang berhakikatkan “Hakikat Nabi” pasti menjadi nabi. Seorang manusia yang berhakikatkan “Hakikat Wali” pasti akan menjadi wali. Suasana pentadbiran Allah s.w.t atau hakikat itu menguasai roh yang berkaitan dengannya. Roh bekerja memamerkan segala maklumat yang ada pada hakikat yang menguasainya. Kerja roh adalah menjalankan urusan Allah s.w.t yaitu menyatakan hakikat yang ada pada sisi Allah s.w.t.

     Dan katakan: “ Roh itu dari perkara urusan Tuhanku”. ( Ayat 85 : Surah Al-Israa’ )


Pentadbiran Allah s.w.t menguasai roh dan membawa roh kepada memamerkan ketentuan-Nya yang berada pada azali. Allah s.w.t telah menentukan hakikat sesuatu sejak azali lagi. Tidak ada perubahan pada ketentuan Allah s.w.t. Segala sesuatu dikawal oleh hakikat yang pada sisi Allah s.w.t. Unta tidak boleh meminta menjadi kambing. Beruk tidak boleh meminta menjadi manusia. Manusia tidak boleh meminta menjadi malaikat. Segala ketentuan telah diputuskan oleh Allah s.w.t.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

LISTEN TO QUR'AN

Listen to Quran