PELUANG MENDEKATI ALLAH S.W.T

Sabtu, 19 Februari 2011

JANGAN MENANTIKAN SELESAI SEGALA HALANGAN, KARENA YANG DEMIKIAN ITU AKAN MENGHALANGI KAMU DARI MENDEKATI ALLAH S.W.T MELALUI SESUATU YANG AKAN ENGKAU DIDUDUKKAN DI DALAMNYA.

Setelah merenung  Hikmah yang lalu kita telah menyimak dan menghayati persoalan  Qadar secara terperinci hingga kepada batas hembusan satu nafas. Qadar membawa kepada kita kejadian, suasana, rupa bentuk, nama-nama dan lain-lain. Masing-masing menarik hati kita kepadanya. Apa saja yang  menarik hati menjadi penghalang untuk kita mendekati Allah s.w.t. Oleh sebab perjalanan Qadar tidak akan berhenti maka perwujudan akan halangan-halangan juga tidak akan habis. Jika kita lemas di dalam lautan Qadar, pandangan kita disilaukan oleh warna-warnanya dan kita dimabukkan oleh gelombangnya, maka selama-lamanya kita akan terhijab dari Allah s.w.t. 

Tujuan kita beriman kepada Qadha dan Qadar bukanlah untuk kita lemas di dalam lautannya. Kita hendaklah mengikuti desiran ombak dan tiupan angin sambil perhatian kita tertuju kepada daratan, bukan membiarkan diri kita terkubur di dasar laut. Ketika menghadapi ombak Qadar kita hendaklah menjaga perahu yang kita naiki. Perahu tersebut adalah terbagi dua, ada perahu asbab atau perahu tajrid. Jika kita menaiki perahu asbab kita perlu berdayung dan menjaga kemudinya sesuai mengikuti perjalanan sebab musabab. Jika kita berada dalam perahu tajrid kita akan ditolak oleh kuasa tajrid tetapi kita masih perlu mengawal kemudinya agar tidak lari dari daratan yang dituju.

Setiap Qadar yang sampai kepada kita membawa kita memasuki ruang dan waktu. Pada setiap ruang dan waktu yang kita ditempatkan itu ada kewajiban yang perlu kita laksanakan.  Hal tersebut merupakan amanah yang dipertaruhkan oleh Allah s.w.t kepada kita. Qadar adalah utusan yang mengajak kita memperhatikan perbuatan Allah s.w.t, sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya dan Zat-Nya Yang Maha Suci, Maha Mulia dan Maha Tinggi. Tidak ada satu Qadar, tidak ada satu ruang dan waktu yang padanya tidak terdapat ayat-ayat atau tanda-tanda yang menceritakan tentang Allah s.w.t. Kegagalan untuk melihat kepada ayat-ayat  Allah s.w.t itu adalah karena perhatian hanya tertumpu kepada makhluk dan kejadian yang menjadi sebab musabab yang dibawa oleh Qadar yang menempati sesuatu ruang  dan waktu itu. Apabila perhatian tertumpu kepada makhluk dan kejadian maka makhluk dan kejadian itu menjadi hijab antara hamba dengan Allah s.w.t. 

Hamba akan melihat makhluk dan kejadian mempunyai kesan terhadap sesuatu dan dia lupa kepada kekuasaan Allah s.w.t yang mengawal segala sesuatu itu. Kewajiban si hamba adalah menghapuskan hijab tersebut, ruang dan waktu yang dia berada di dalamnya, dia tetap melihat kepada ayat-ayat Allah s.w.t. Hatinya tidak putus bergantung kepada Allah s.w.t. Ingatannya tidak luput dari mengingat Allah s.w.t. Mata hatinya tidak lepas  memperhatikan sesuatu tentang Allah s.w.t. Ingatan dan perasaannya sentiasa bersama Allah s.w.t. Setiap Qadar, ruang dan waktu adalah kesempatan baginya mendekati Allah s.w.t.

Hati kita bisa saja mengarah kepada dunia atau kepada akhirat ketika menerima kedatangan  Qadar. Biasanya tarikan kepada dunia kita anggapkan sebagai halangan, sementara tarikan kepada akhirat kita anggap sebagai jalan yang menyampaikan. Sebenarnya kedua-duanya adalah halangan karena kedua-duanya adalah alam atau makhluk yang Tuhan ciptakan. Syurga, bidadari, Kursi dan Arasy adalah makhluk yang Tuhan ciptakan. Alam ini kesemuanya adalah gelap gulita, yang meneranginya adalah karena adanya Allah s.w.t padanya (Hikmat 14). Alam adalah cermin yang memperlihatkan cahaya Allah s.w.t yang padanya ada kenyataan Allah s.w.t.  Yang demikian, walau di dalam Qadar apa pun kita berada, kesempatan untuk melihat Allah s.w.t dan mendekat kepada-Nya tetap ada. Kesempatan ini adalah hak Allah s.w.t terhadap hamba-Nya. Hak ini wajib ditunaikan pada waktu itu juga, tidak boleh ditunda  kepada waktu yang lain, karena pada waktu yang lain ada pula hak Allah s.w.t yang lain.

Setengah ulama memfatwakan bahwa sholat yang terlewat dari waktunya bisa dilakukan semula secara Qadha. Sekali pun sholat boleh dibuat secara Qadha, tetapi hak Allah s.w.t yang telah terlewat tidak boleh diQadha. Hamba yang benar-benar menyempurnakan kewajibannya terhadap hak Allah s.w.t adalah yang tidak berkelip mata hatinya memandang kepada Allah s.w.t, tidak membayangkan akan didudukkan dalam suasana atau Qadar apa pun. Setiap waktu dan ruang yang dimasukinya adalah jembatan yang menghubungkannya dengan Tuhannya. 

QADAR YANG LEBIH HALUS (NAFAS)


TIADA SATU NAFAS TERLEPAS DARIPADA KAMU MELAINKAN DI SITU PULA ADA QADAR YANG BERLAKU DI ATAS KAMU.

Persoalan Qadar telah disentuh pada Hikmat 3 dan kembali disentuh oleh Hikmat 30 ini. Persoalan Qadar dibangkit semula setelah disinggung tentang permintaan atau doa yang bermaksud tuntutan terhadap Allah s.w.t. Tuntutan-tuntutan timbul lantaran kurang menghayati tentang Qadar. Disini saya akan mengajak merenung perkara Qadar kepada yang sangat halus yaitu satu nafas yang terjadi kepada kita. Kita kurang memperhatikan tentang nafas karena ia terjadi secara spontan, tanpa bersusah payah dan terkadang kita anggap remeh untuk diperhatikan. Sekarang perkara yang kita anggap remeh inilah yang hendak kita perhatikan dengan saksama. Apakah berbeda suatu perkara yang dianggap remeh dengan perkara yang dianggap besar dalam kaitannya dengan perjalanan Qadar. Kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri adakah setiap nafas yang kita hembuskan itu berlaku secara percuma, tanpa perkiraan, tidak mengikuti kehendak yang Allah s.w.t tentukan? Adakah apabila kita hembuskan satu nafas hanya nafas saja yang berlaku? Perkara yang dianggap kecil ini haruslah direnungkan dengan mendalam, agar kita mendapat pengertian tentang Qadar secara terperinci.

Nafas adalah udara yang keluar masuk pada badan kita melalui mulut dan hidung. Satu hembusan udara yang keluar dari badan kita dipanggil satu nafas. Nafas ini penting bagi jasmani kita. Nafas menjadi nyawa kepada diri kita yang zahir. Kehidupan yang zahir diukur dengan perjalanan nafas. Kita biasanya mengukur umur kita dengan kiraan tahun. Kita tidak mengukur umur kita dengan kiraan bulan, apa lagi kiraan hari dan jam. Sebenarnya ukuran yang tepat tentang umur adalah nafas. Berapa jutaan hembusan nafas itulah umur kita.

Kita melihat Qadar sebagai ketentuan Ilahi yang berlaku kepada kita dalam lingkup yang luas. Sikap memandang Qadar secara meluas menyebabkan kita terlindung untuk melihatnya pada setiap detik dan setiap kejadian. Sebab itu kita sering keluar dari keyakinan kepada Qadar. Andainya kita memandang hidup secara tepat yaitu dengan hitungan nafas niscaya kita akan melihat Qadar secara halus sebagaimana halusnya perkiraan nafas. Dapatlah kita menghayati benar-benar bahwa pada setiap hembusan nafas itu berlaku Qadar menurut ketentuan Ilahi. Jumlah udara yang keluar masuk pada badan kita bagi setiap perjalanan nafas adalah menurut kehendak yang Allah s.w.t tentukan. Jumlah nafas yang akan kita hembuskan juga telah ditentukan oleh Allah s.w.t dan apabila  jumlah nafas yang telah disediakan untuk kita itu habis maka kita akan mati. 

Jika kita dapat melihat perjalanan Qadar hingga kepada peringkat yang halus ini, niscaya pandangan mata hati kita tidak akan terlepas daripada melihat Qadar pada setiap detik dan pada setiap kejadian. Kita akan melihat bahwa jumlah air hujan yang bertitik di atas bumbungan rumah kita adalah mengikut kehendak yang telah ditentukan Allah s.w.t. Bilangan debu yang berterbangan juga ditentukan Allah s.w.t. Helaian rambut yang jatuh dari kepala kita juga ditentukan Allah s.w.t. Panjang, lebar dan dalam luka yang kita alami ketika kemalangan juga ditentukan Allah s.w.t. Tidak ada satu pun yang menyimpang dari Qadar menurut ketentuan Ilahi. Sesungguhnya Allah s.w.t, al-Latif, Maha Halus, tidak ada sesuatu yang keluar daripada perkiraan-Nya. Tidak ada sesuatu yang terlepas daripada kehendak dan timbangan-Nya. Semua makhluk berjalan di atas landasan Qadar yang diaturkan-Nya. Sesungguhnya Allah s.w.t tidak sekali-kali lalai, tidur atau keliru. Apa yang Dia tentukan itulah yang berlaku. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana, tidak ada yang salah pada penciptaan dan perjalanan penciptaan-Nya.


Tiada sesuatupun dari makhluk-makhluk yang bergerak di muka bumi melainkan Allah jualah yang menguasainya. Sesungguhnya Tuhanku tetap di atas jalan yang lurus. ( Ayat 56 : Surah Hud )

Tidak ada sesuatu kesusahan (atau bala bencana) yang ditimpakan  di bumi, dan tidak juga yang menimpa diri kamu, melainkan telah ada di dalam Kitab (pengetahuan Kami) sebelum Kami menjadikannya; sesungguhnya  yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. ( Ayat 22 : Surah al-Hadiid )

Allah s.w.t mengadakan ketentuan sejak azali. Tidak ada siapa pun yang tahu tentang ketentuan Allah s.w.t. Malaikat hanya menjalankan perintah-Nya. Apa yang pada sisi malaikat boleh diubah oleh-Nya, tetapi apa yang pada sisi-Nya tidak pernah berubah. Malaikat menjalankan tugas dan manusia melakukan kewajiban. Tuhan yang memiliki ketentuan yang mutlak. Doa dan amal manusia mungkin menjadi asbab kepada berlakunya perubahan pada apa yang berada dengan malaikat yang menjalankan tugas, jika Tuhan izinkan, tetapi ia tidak mengubah apa yang pada sisi Tuhan. Ilmu Tuhan meliputi yang awal dan yang akhir. Segala sesuatu telah ada pada Ilmu-Nya sebelum ia berlaku lagi. Urusan yang demikian sangat mudah bagi Allah s.w.t. Malaikat dan manusia tidak memiliki ilmu yang demikian. Malaikat semata-mata patuh kepada apa yang Allah s.w.t perintahkan. Manusia perlu bergerak pada makamnya dan berusaha meningkatkan perkembangan kerohaniannya sehingga dia menjadi sesuai dengan kehendak Allah s.w.t.

PERMINTAAN DAN KEDUDUKAN

Senin, 07 Februari 2011

PERMINTAAN DARIPADA-NYA MENUNJUKKAN KURANG PERCAYAMU KEPADA-NYA. PERMINTAAN KEPADA-NYA MENUNJUKKAN KAMU TIDAK MELIHAT-NYA.  PERMINTAAN KEPADA LAINNYA MENUNJUKKAN SEDIKIT MALU TERHADAP-NYA. PERMINTAAN DARI LAINNYA MENUNJUKKAN JAUHNYA KAMU DARIPADA-NYA.

Hikmah 29 ini adalah perumpamaan alat untuk menilai diri sendiri. Perhatikan kecenderungan kita dalam mengajukan permintaan. Jika kita cenderung meminta dari lain-Nya,  tetapi kita lebih sering mengajukan permintaan kepada sesama makhluk, itu tanda hati kita berpaling jauh daripada Allah s.w.t. Hati kita merasakan seolah-olah makhluk yang memiliki kuasa penentu,   sehingga hati kita tidak dapat melihat kepada kekuasaan Tuhan. Cermin hati kita dibaluti oleh awan gelap yang mengandung gambar-gambar benda alam, tuntutan syahwat, permainan hawa nafsu yang melalaikan dan tumpukan dosa yang tidak dibersihkan dengan taubat. Hati yang mengalami keadaan seperti ini dinamakan nafsu amarah.

Amarah seseorang bukan saja menyerang orang jahil yang telah menyakitinya, orang alim dan ahli ibadah juga bisa menerima serangannya dan mungkin tewas kepadanya. Agar orang alim tidak terpedaya oleh ilmunya dan ahli ibadah tidak terpedaya oleh amalnya, perhatikan apa saja yang telah dimintanya ketika dia sedang berdo'a. Jika warna-warni keduniaan seperti harta, pangkat dan kemuliaan yang menjadi tuntutannya dan kesungguhan usaha dan ikhtiarnya ditujukan semata-mata kepada manusia dan alat dalam mendapatkan keperluannya, itu menjadi tanda bahwa hatinya berpaling jauh dari Allah s.w.t. Benahi hati agar ia menghadap kepada Allah s.w.t. secara kaffah. Bila hati sedang menghadap kepada Allah s.w.t maka mata hati dapat melihat kekuasaan Allah s.w.t.  Sementara semua makhluk hanyalah sebatas  ciptaan  kekuasaan-Nya.

Golongan kedua hampir serupa dengan golongan pertama, yaitu orang meminta kepada lain-Nya.  Walaupun dia memohon kepada Allah s.w.t, tetapi yang dipinta adalah sesuatu selain Allah s.w.t. Dia mungkin meminta agar Allah s.w.t mengaruniakan kepadanya harta, pangkat dan kemuliaan di sisi makhluk lainnya. Permintaannya sama seperti golongan yang pertama hanya saja dia meminta kepada Allah s.w.t tidak kepada makhluk. Orang yang dari golongan ini sedikit lebih baik,  yaitu yang memohon kepada Allah s.w.t agar dikaruniakan faedah-faedah akhirat seperti pahala, syurga dan juga keberkahan. Permintaan yang berupa faedah duniawi dan ukhrawi menunjukkan sikap kurang malunya seorang hamba itu terhadap Allah s.w.t. Orang yang seperti ini hanya melihat kepada nikmat tetapi tidak mau mengenali Pemberi nikmat. Perhatikan kepada diri kita sendiri, apakah disaat berdo'a kita hanya bisa merengek meminta itu dan ini  kepada Allah s.w.t. Jika sifat demikian ada pada diri kita, itu tandanya hati kita masih keras dan perlu dilembutkan dengan zikrullah dan amal ibadah agar lahirlah sifat malu terhadap Allah s.w.t Yang Maha Lemah-lembut.

Golongan ketiga adalah orang yang membuat permintaan kepada-Nya, yaitu meminta agar dia didekatkan kepada-Nya. Dia merasakan dirinya jauh dari Allah s.w.t. Inilah orang yang mata hatinya tertutup, tidak dapat melihat bahwa Allah s.w.t lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri. Allah s.w.t sentiasa bersama-samanya walau di mana dia berada. Bagaimana kita dapat melihat Allah s.w.t lebih dekat dari urat leher, dan Allah s.w.t sentiasa bersama walau di mana kita berada, semua hal ini tidak dapat diuraikan. Allah s.w.t. bukanlah penglihatan mata, tetapi penglihatan rasa atau penglihatan mata hati. Perhatikanlah, seandainya kita cenderung meminta supaya didekatkan kepada Allah s.w.t itu tandanya mata hati kita masih kelabu, maka sucikanlah hati dengan sholat, berzikir dan ibadah-ibadah lainnya.

Golongan keempat adalah orang yang mengajukan permintaan daripada-Nya. Orang ini mengakui bahwa Allah s.w.t saja yang memiliki segala-galanya. Hanya Allah s.w.t yang berhak memberi apa yang dimiliki-Nya. Permintaan seperti ini menunjukkan kurang percayanya kepada Allah ar-Rahman, Yang Maha Pemurah dan al-Karim, Yang Memberi tanpa diminta. Bukankah ketika kita di dalam kandungan ibu kita belum pandai meminta, tetapi Allah s.w.t telah memberi yang sebaik-baiknya kepada kita. Ketika kita belum pandai meminta, kita mempercayai-Nya sepenuh hati. Tetapi mengapa disaat kita sudah pandai meminta, kita menjadi ragu-ragu terhadap kemurahan-Nya. Perhatikan dan ingatlah, jika kita masih meminta-minta itu tandanya belum bulat penyerahan kita kepada-Nya. Sangatlah penting bagi orang yang melatih dirinya untuk dipersiapkan menemui Tuhan, tentunya orang tersebut harus  membulatkan tekad disaat penyerahan kepada-Nya tanpa keraguan sedikit pun.

Ketika membahas Hikmah 28, telah diuraikan keadaan orang yang telah memperoleh hakikat. Kesempatan mengalami hakikat bukanlah akhir pencapaian. Seseorang haruslah mencapai makam keteguhan hati sebelum mencapai makam kewalian. Pada makam kewalian si hamba dikurniakan penjagaan dan perlindungan-Nya. Orang yang belum sampai kepada keteguhan hati tidak lepas dari mengajukan permintaan kepada Allah s.w.t. Permintaannya bukan lagi berbentuk duniawi atau ukhrawi tetapi yang dimintanya adalah keteguhan hati, penjagaan dan pelindungan-Nya. Permintaan orang yang berada pada peringkat ini menunjukkan dia belum bebas sepenuhnya dari sifat-sifat kemanusiaan yaitu dia belum mencapai fana hakiki. Orang yang berada pada peringkat ini haruslah berhati-hati dengan pencapaiannya. Janganlah terpedaya dengan perolehan makrifat karena makrifat itu juga merupakan ujian.

Ketahuilah jika seseorang mendatangi Allah s.w.t berbekalkan amal maka Allah s.w.t menyambutnya dengan  perhitungan. Jika amalnya dihisab dengan teliti niscaya tidak ada satu pun yang layak dipersembahkan kepada Allah s.w.t. Jika dia mendatangi-Nya dengan ilmu pengetahuan maka Allah s.w.t menyambutnya dengan tuntutan. Ilmunya tidak mampu menyatakan kebenaran yang hakiki. Jika dia mendatangi-Nya dengan makrifat maka Allah s.w.t menyambutnya dengan hujah. Dia tidak akan dapat memperkenalkan Allah s.w.t.

Oleh itu singkirkan tuntutan dan pilihan agar Allah s.w.t tidak membuat tuntutan kepada kita. Lepaskan ilmu kita, amal kita, makrifat kita, sifat kita, nama kita dan segala-galanya agar kita menemui Allah s.w.t seorang diri tanpa bekal apapun. Jika mau mencapai keadaan ini, ikhlaskan hati untuk semua amal perbuatan kita. Baikkan niat dan bersabar tanpa mengeluh atau membuat tuntutan. Kemudian naik kepada ridha Allah s.w.t  dengan hukum-Nya. Insya Allah kita akan menemui-Nya, yaitu pertemuan ubudiyah dengan Rububiah.

Suasana yang disebutkan di atas telah digambarkan oleh Rasulullah s.a.w dengan sabda baginda s.a.w yang artinya : “Tidak ada amalan anak Adam yang melepaskan dirinya dari azab Allah s.w.t melebihi amalan berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla”. Baginda s.a.w juga bersabda yang artinya : “Berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: "Barangsiapa menghabiskan waktunya berzikir kepada-Ku, tanpa meminta kepada-Ku, niscaya Aku berikan kepadanya yang lebih utama daripada apa yang Aku berikan kepada mereka yang meminta".

Zikir yang sebenarnya adalah penyerahan secara menyeluruh kepada Allah s.w.t dalam segala perkara agama, baik yang mengenai dunia maupun yang mengenai akhirat. Sholatnya, ibadahnya, hidupnya dan matinya hanya karena Allah s.w.t semata-mata. Dia menjalankan sholat, beribadah dan melakukan sesuatu pekerjaan atau perbuatan hanya karena mengabdikan diri kepada Allah s.w.t. Sekiranya Allah s.w.t tidak menjadikan syurga dan neraka, juga tidak mengadakan dosa dan pahala, maka sholatnya, ibadahnya, pekerjaannya dan perbuatannya tetap juga serupa. Hatinya tidak cenderung untuk memperhatikan upah karena apa saja yang dia lakukan adalah karena Allah s.w.t. Hatinya bukan saja tidak memperhatikan upah daripada manusia, bahkan dia juga tidak mengharapkan balasan apa-apa dari Allah s.w.t. Kekuatan untuk mengingati Allah s.w.t dan berserah diri kepada-Nya merupakan ‘upah’ yang sangat besar, tidak perlu lagi menuntut upah yang lain.

Seorang hamba yang zikirnya sudah larut ke dalam penyerahan, segala urusan hidupnya akan diurus oleh Tuhannya. Dia adalah perumpamaan seorang bayi yang baru lahir, sentiasa dipelihara, dijaga dan dilindungi oleh ibunya. Pemeliharaan, penjagaan dan perlindungan Allah s.w.t melebihi apa yang mampu dikerjakan oleh makhluk. Seorang hamba yang Allah s.w.t masukkan ke dalam daerah pemeliharaan, penjagaan dan perlindungan-Nya itu dipanggil wali Allah s.w.t. Yaitu hamba yang dipelihara, dijaga dan dilindungi oleh Allah s.w.t dari lupa kepada-Nya, durhaka kepada-Nya, hilang pergantungan (selalu meminta) kepada-Nya dan juga dijauhkan dari gangguan makhluk-Nya. 

PEMBIMBING JALAN HAKIKI

Rabu, 02 Februari 2011
TIDAK BERCITA-CITA SEORANG SALIK ( MURID ) UNTUK BERHENTI KETIKA TERJADI KASYAF (TERBUKA PERKARA GHAIB) , MELAINKAN SUARA HAKIKI BERSERU KEPADANYA: “ APA YANG KAMU CARI MASIH JAUH DI HADAPAN  (OLEH SEBAB ITU JANGAN KAMU BERHENTI)!” DAN TIDAK TERBUKA BAGINYA ALAM MAYA MELAINKAN DIPERINGATKAN OLEH HAKIKAT ALAM ITU: “SESUNGGUHNYA  KAMI ADALAH UJIAN, KARENA ITU JANGANLAH KAMU KUFUR!"

Latihan penyucian hati membawa rohani si salik (murid) meningkat dari satu peringkat kepada peringkat yang lebih tinggi. Kekuatan rohaninya bertambah dan pada saat yang sama juga mempengaruhi bahwa kesadaran inderawinya berkurangan. Dalam keadaan seperti ini rohaninya mampu menjadi penasehat untuk dirinya sendiri. Bila terlintas dalam hatinya untuk melakukan kesalahan akan tercetuslah perasaan membantah perbuatan tersebut, seolah-olah ada orang yang menasihatinya. Apabila sampai kepada satu peringkat kesucian hati akan terbuanglah dari hatinya mengenai hal-hal yang bersifat duniawi, sifat syaithon dan hawa nafsu.

Lintasan duniawi membawa kepada kelalaian, karena keserakahan dan kesenangan harta benda. Lintasan sifat syaithoni membawa kepada perbuatan syirik dan bid'ah yang bertentangan dengan Sunah Rasulullah s.a.w. Lintasan hawa nafsu pula mendorong kepada maksiat dan kemunkaran. Bila hati sudah terjaga dari lintasan-lintasan jahat, maka hati akan didatangi oleh lintasan malaki (malaikat) dan Rahmani (Tuhan).
 
Lintasan malaki (malaikat) mengajak kepada kita untuk berbuat taat kepada Allah s.w.t dan meninggalkan larangan-Nya. Makna Lintasan Rahmani  adalah tarikan langsung daripada Tuhan. Dalam lintasan-lintasan duniawi, sifat syaithoni, hawa nafsu dan malaki, manusia mempunyai pilihan untuk menerima ataupun menolak. Akal dan imannya bisa memikirkan dan menimbang akan sebab dan akibat jika dia mengikuti sesuatu rangsangan itu. Tetapi, dalam lintasan Rahmani seorang hamba tidak mempunyai pilihan, tidak ada hukum sebab musabab yang bisa mencegahnya dan tidak ada hukum logika yang dapat menguraikannya. Misalnya, seorang yang tidak pernah turun ke laut, tiba-tiba pada suatu hari dia pergi ke laut dan mandi, lalu mati lemas. Artinya, tidak dapat diterangkan mengapa dengan tiba-tiba dia mau mandi di laut dan dia tidak dapat melawan keinginan yang timbul dalam hatinya itu. Kuasa Allah s.w.t. yang menariknya ke laut dan mandi lalu mati di laut, kejadian seperti ini dinamakan lintasan Rahmani atau tarikan ketuhanan. 

Dalam perjalanan kerohanian seorang salik (murid)  bisa saja menerima lintasan Rahmani yang membawanya melakukan sesuatu yang kelihatan aneh, tidak masuk akal dan dia sendiri tidak dapat memberikan penjelasan tentang tindak tanduknya, walaupun dia masih dapat melihat perbuatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri itu.
 
Semasa pengembaraannya ke dalam alam kerohanian, seorang salik (murid) ada kemungkinan  memperoleh kasyaf yaitu terbuka keghaiban kepadanya, dan ada juga yang tidak sama sekali, karena tergantung keimanannya. Dia dapat melihat apa yang tersembunyi, dan dia bisa saja dapat melihat  peristiwa yang akan terjadi saat itu atau dikemudian hari. Mungkin juga dia diberikan kurnia kekeramatan seperti " mulut se-ucap kata ", berjalan di atas air, menyembuhkan penyakit dan lain-lain. Seorang salik (murid) bisa juga dapat melihat dengan mata hatinya keadaan Alam Barzakh, syurga dan neraka. Penemuan perkara-perkara yang ganjil, ajaib dan indah-indah bisa mempesonakan si salik (murid) dan dapat menyebabkan dia menjadi keliru karena merasa dirinya sudah sampai ke puncak, lalu dia berhenti di situ. Lebih membahayakan lagi jika si salik (murid) tidak mendapat bimbingan guru atau guru yang membimbingnya tidak memahami tentang seluk-beluk alam kerohanian. Si guru tidak dapat menjelaskan pengalaman aneh yang dialami oleh murid, lalu si murid tidak ada pilihan kecuali membuat tafsirannya sendiri. Oleh sebab itu, pengalaman tersebut adalah berkenaan  dengan  perkara ghaib, maka si murid bisa dengan mudahnya menyangka segala yang ghaib itu adalah aspek ketuhanan.
 
Di sini timbullah berbagai anggapan tentang Tuhan, karena dia menyangka bahwa dia telah melihat zat Tuhan. Timbullah sangkaan tentang Tuhan adalah nur dengan warna yang tertentu. Ada pula yang beranggapan Tuhan itu rupanya tegak seperti huruf alif. Ada pula yang mengatakan Tuhan adalah cahaya yang sangat halus. Bermacam-macam lagi anggapan tentang Tuhan muncul akibat kejahilan mengenai alam ghaib. Prasangka yang meletakkan Zat Allah s.w.t di dalam ruang dan berbentuk  adalah kekufuran. Bahaya penyelewengan akidah kepada orang yang belajar ilmu hakikat kepada yang bukan mursyid adalah  dosa besar. Orang yang belajar ilmu hakikat cara demikian hanya membahas zat Ilahiah dengan menggunakan akalnya, sedangkan akal tidak ada pengetahuan tentang zat Tuhan.
    
Murid atau salik yang mendapat bimbingan dari guru yang mursyid  akan mendapat rahmat, taufik dan hidayah dari Allah s.w.t serta akan dapat melalui fitnah-fitnah dunia yang tersebut di atas dengan selamat. Seorang salik (murid) yang masuk ke dalam Tarikan ketuhanan atau mendapat kekeramatan yang ada pada dirinya akan berjalan terus walau pun kekeramatan yang dia miliki ditemuinya di tengah jalan dalam pengembaraan kerohanian, sekalipun dia ditawarkan dengan syurga. Tarikan ketuhanan yang diperoleh seorang salik (murid) itu dinamakan Petunjuk Ilmu, Perintah Batin, Petunjuk Laduni atau Suara Hakiki atau Pembimbing Hakiki. Ia adalah tarikan langsung daripada Allah s.w.t agar hamba yang Allah s.w.t mau temui itu selamat sampai kepada-Nya. Seorang salik akan menafikan semua yang ditemuinya meskipun  tidak semua orang bisa memilikinya. Ketika kekeramatannya disaksikan  orang lain, atau dirinya sendiri, maka kekeramatan yang dimilikinya adalah sifat bukan zat. Sepanjang perjalanan kealam kerohanian seorang salik akan merenungi dan memuji ketika melihat  ciptaan Tuhan, dialam kerohanian ini seorang salik akan mengungkap hikmah kebijaksanaan Tuhan dan tanda-tanda yang memberi pemahaman tentang Dia. Zat Ilahiah tetap tinggal tertutup rapat oleh nur di balik nur dan tidak dapat ditembusi oleh siapa pun dan penglihatan yang bagaimana pun. Jika nur yang disaksikan atau nampak padanya, maka nur tersebut adalah salah satu daripada tanda-tanda-Nya dan juga salah satu daripada Nama-nama-Nya. Setelah  dapat  bertemu denga Tuhan, maka seorang salik (murid) akan sampai kepada puncak kedunguannya yaitu pengakuan tentang kelemahannya mengenai zat Ilahiah. Inilah puncak pencapaian yang tertinggi dan orang yang sampai kepada hakikat ini dinamakan orang yang bermakrifat atau orang yang mengenal Allah s.w.t.
" Tidak ada sesuatu apa pun yang menyerupai-Nya ".
Tidak ada yang menyerupai-Nya dan menyamai-Nya, mana mungkin ada gambaran tentang-Nya yang dapat ditangkap oleh penglihatan makhluknya? Kebodohan dan kedunguan adalah hijab dan tidak mungkin terungkap tentang zat Ilahiah kecuali pada hari akhirat kelak, apabila seorang hamba diizinkan memandang dengan pandangan mata. Sebelum menjumpai  masa akhirat, maka tidak akan mungkin seorang hamba dapat melihat Allah s.w.t. Apa yang diistilahkan sebagai melihat Allah s.w.t adalah menyaksikan Allah s.w.t pada sesuatu yang didalamnya terdapat tanda-tanda penciptaan-Nya,  hikmah-Nya dan tadbir-Nya. Ini merupakan penglihatan akal serta mata hati atau melihat Nur-Nya yaitu melihat Rahasia Allah s.w.t yang tersembunyi pada sekalian kejadian-Nya. Zat Ilahiah tetap tinggal dan tertutup oleh keghaiban yang mutlak (Ghaibul Ghuyub).
 
Seorang sufi selalu mengatakan mereka melihat Allah s.w.t. Apa yang mereka maksudkan adalah penglihatan ilmu dan penglihatan hati nurani, penglihatan yang mengandung rasa kecintaan yang sangat mendalam terhadap Allah s.w.t, dan kerinduan yang membara di dalam hati mereka. Itulah penglihatan mereka yang gila (Majdub) akan Allah s.w.t. Jangan ditafsirkan ucapan mereka secara lafaz tetapi selami hati mereka untuk memahami keasyikan dan kemabukan yang mereka alami.

BERPEGANG KEPADA MAKAM KEPRIBADIAN

Selasa, 01 Februari 2011
JANGAN MEMINTA KEPADA ALLAH S.W.T SUPAYA DIPINDAHKAN DARI SATU HAL KEPADA HAL YANG LAIN, SEBAB JIKA ALLAH S.W.T MENGKEHENDAKI DIPINDAHKAN KAMU TANPA MERUBAH KEADAAN KAMU YANG LAMA.
Hal adalah pengalaman hati tentang hakikat. Hal tidak boleh didapati melalui amal dan juga ilmu. Tidak boleh dikatakan bahwa amalan menurut tarekat tasauf  menjamin seorang murid memperoleh hal. Latihan secara tarekat tasauf  hanya menyucikan hati agar hati itu menjadi  sesuai untuk menerima kedatangan hal-hal (ahwal). Hal hanya diperoleh karena anugerah Allah s.w.t. Mungkin timbul pertanyaan mengapa ditekankan soal amal seperti yang dinyatakan dalam  Hikmah yang lalu, sedangkan amal itu sendiri tidak menyampaikan kepada Tuhan?
 
Perlu dipahami bahwa seseorang hamba tidak mungkin berjumpa dengan Tuhan jika Tuhan tidak mau bertemu dengannya. Tetapi, jika Tuhan mau menemui seorang hamba maka dia akan dipersiapkan agar layak berhadapan dengan Tuhan pada pertemuan yang sangat suci dan mulia. Jika seorang hamba cenderungan untuk menyucikan dirinya, itu adalah tanda bahwa dia diberi kesempatan untuk dipersiapkan agar layak dibawa berjumpa dengan Tuhan. Hamba yang bijaksana adalah hamba yang tidak melepaskan kesempatan tersebut, tidak menunda-nunda kepada waktu yang lain. Dia tahu bahwa dia menerima undangan dari Tuhan Yang Maha Mulia, lalu dia menyerahkan dirinya untuk dipersiapkan  kepada tahap  menghadap Tuhan sekalian alam. 

Makam di mana seorang hamba ini dinamakan aslim atau menyerah diri sepenuhnya kepada Tuhan. Tuhan yang tahu bagaimana mempersiapkan hamba yang Dia mau temui. Tujuan amalan tarekat tasauf  adalah mempersiapkan para hamba agar berkeadaan bersiap sedia dan layak untuk bertemu dengan Tuhan (memperoleh makrifat Allah s.w.t). Walaupun hal yang demikian merupakan anugerah Allah s.w.t semata-mata, tetapi hal hanya mendatangi hati para hamba yang bersedia menerimanya.
 
Seorang Hamba  yang memperoleh hal, akan meningkatkan ibadahnya sehingga  hal itu sejalan dengannya dan membentuk kepribadian yang sesuai dengan cetusan hal tersebut. Hal yang menetap itu dinamakan makam. Hal yang diperoleh dengan anugerah bila diusahakan akan menjadi makam. Misalnya, Allah s.w.t mengizinkan seorang hamba mendapat hal di mana dia merasa bahwa dia sentiasa berhadapan dengan Allah s.w.t, Allah s.w.t melihatnya secara zahir dan batin, mendengar ucapan lidahnya dan bisikan hatinya. Seorang hamba memperteguhkan daya rasa tersebut dengan cara memperkuatkan amal ibadah yang sedang dilakukannya sewaktu hal tersebut datang kepadanya, seperti sholat, puasa atau zikir, sehingga daya rasa tadi menjadi akrab dengannya. Dengan demikian dia mencapai makam ihsan.
 
Suatu kebiasaan sifat  manusia adalah tergesa-gesa, bukan saja dalam perkara duniawi malah dalam perkara ukhrawi juga. Seorang hamba yang rohaninya belum mantap masih dibaluti oleh sifat-sifat kemanusiaan. Apabila dia mengalami satu hal dia akan merasakan nikmatnya. Rindulah dia untuk menikmati hal yang lain pula. Lalu dia memohon kepada Allah s.w.t supaya ditukarkan atau digantikan halnya. Sekiranya hal yang datang tidak diperteguhkan ia tidak menjadi makam. Bila hal berlalu ia menjadi kenangan, tidak menjadi keperibadian. Meminta perubahan kepada hal yang lain adalah tanda kekeliruan dan bisa mengendurkan perkembangan kerohanian.
 
Kekuatan yang paling utama adalah berserah diri kepada Allah s.w.t, ridha dengan segala ketentuan-Nya. Biarkan Allah Yang Maha Mengerti mengurus kehidupan kita. Sebaik-baik perbuatan adalah menjaga makam yang kita sedang berada di dalamnya. Jangan meminta makam yang lebih tinggi atau lebih rendah. Semakin dekat dengan Allah s.w.t semakin dekat dengan bahaya yang besar, yaitu dicampakan keluar dari majlis-Nya, bagi siapa saja yang tidak tahu menjaga kesopanan bermajlis dengan Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi.  Tunduklah kepada kemuliaan-Nya dan berserah dirilah kepada kebijaksanaan-Nya, niscaya Dia akan menjaga keselamatan dan kesejahteraan para hamba-Nya.

MENUNDA AMAL TANDA KEBODOHAN

MENUNDA AMAL KEBAIKAN KERANA MENANTIKAN KESEMPATAN YANG LEBIH BAIK ADALAH TANDA KEBODOHAN.
 
Hikmah yang lalu telah memaparkan kebodohan yang timbul karena kejahilan seorang hamba tentang kekuasaan Tuhan. Hikmah 26 ini kembali memaparkan kebodohan yang timbul lantaran kelalaian seorang hamba. Orang yang mabuk dibuai oleh ombak kelalaian tidak dapat melihat bahwa pada setiap detik pintu rahmat Allah s.w.t sentiasa terbuka dan Allah s.w.t sentiasa berhadapan kepada hamba-hamba-Nya. Setiap saat adalah kesempatan dan tidak ada kesempatan yang lebih baik daripada kesempatan yang memperlihatkan dirinya kepada kita. Kesempatan yang paling baik adalah kesempatan disaat kita sedang berada di dalamnya (dekat dengan Allah s.w.t.).
 
Kelalaian adalah buah dari angan-angan. Terlalu berangan-angan pula datangnya dari pokok kurang ingatan kepada mati. Jadi, obat yang paling mujarab untuk mengobati penyakit kelalaian adalah memperbanyakkan ingatan kepada mati. Apabila ingatan kepada mati sudah kuat maka seseorang itu tidak akan mengabaikan kesempatan yang ada baginya untuk melakukan amal salih.
 
Hikmah ke 26 jika ditafsir secara umum menganjurkan agar segala amal kebaikan hendaklah dilakukan dengan segera tanpa bertangguh-tangguh. Jika diperhatikan  Kalam-kalam Hikmat yang lalu dapat difahamkan bahwa Hikmah yang dipaparkan berperan dalam membimbing seseorang pada jalan kerohanian. Amal yang ditekankan adalah amal yang berhubung an dengan pembentukan rohani. Hikmah  27 nanti akan mengupas tentang makam , yaitu suasana kerohanian. Jadi, jika ditafsir secara khusus Hikmah  26 ini menganjurkan untuk bersegera melakukan amal-amal yang  menjadikan hati untuk menerima kedatangan hal-hal dan seterusnya untuk mencapai makam-makam tertentu. Amal yang berkenaan dengan ini adalah latihan kerohanian menurut tarekat tasauf. Latihan yang demikian harus disegerakan sebaik  mungkin, ketika mendapat kesempatan, tanpa menanti kedatangan kesempatan yang lain yang diharapkan lebih baik dan lebih sesuai.
 
Ketika menjalani latihan kerohanian secara tarekat tasauf  kehidupan hanya dipenuhi dengan amal ibadah seperti sholat, puasa, berzikir dan lain-lain. Semua amalan tersebut dilakukan bukan bertujuan untuk mengejar syurga tetapi semata-mata untuk mendapatkan keridhaan Allah s.w.t dan mendekatkan diri kepada-Nya. Amalan seperti inilah yang membuka pintu hati untuk berpeluang mengalami hal-hal yang membawa kepada hasil yang diharapkan, yaitu makrifatullah. Barang siapa yang benar-benar ingin mencari keridhaan Allah s.w.t dan berhasrat untuk menghampiri-Nya serta mengenali-Nya, maka hendaklah jangan  ditunda-tunda lagi. Jangan mencari kesempatan yang lebih baik menurut hawa nafsu dan akal. Jangan menjadikan masalah keduniaan sebagai alasan untuk menunda tindakan dalam mencari keridhaan Allah s.w.t. 

Bulatkan tekad,  masuklah ke dalam golongan ahli Allah s.w.t yang beramal dan bekerja semata-mata karena Allah s.w.t. Benamkan diri sepenuhnya ke dalam suasana ‘Allah’ semata-mata dan tinggalkan apa saja yang selain Allah s.w.t.  Anggap saja latihan yang demikian itu seperti keadaan ketika menunaikan fardu haji di Tanah Suci. Selama di Tanah Suci, segala-galanya ditinggalkan di tanah air sendiri. Di hadapan Baitullah seorang hamba menghadap dengan sepenuh jiwa raga kepada Tuhannya. Dia tidak khawatir akan keluarga, harta dan pekerjaan yang ditinggalkan karena semuanya sudah diserahkannya kepada penjagaan Allah s.w.t. Allah s.w.t adalah  Pemegang amanah yang paling baik. Dia menjaga dengan sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepada-Nya. Syarat penyerahan itu adalah keyakinan.
 
Perlu juga dinyatakan bahwa latihan kerohanian secara tarekat   tasauf  bukanlah satu-satunya jalan kepada menuju Allah s.w.t. Tujuan utama latihan secara tasauf  adalah untuk mendapatkan ikhlas dan penyerahan yang menyeluruh kepada Allah s.w.t. Ikhlas dan penyerahan bisa juga diperoleh walaupun tidak menjalani tarekat   tasauf , tetapi tanpa latihan khusus pembentukan hati kepada suasana yang demikian adalah sulit untuk dilakukan.
 
Jalan yang tidak ada latihan khusus adalah jalan kehidupan harian. Pada jalan ini orang yang beriman perlu bekerja untuk menjalankan peraturan Islam dan mempertahankan iman. Pancaroba dalam kehidupan keseharian sangat banyak dan orang yang beriman perlu berjalan dicelah-celahnya, menjaga diri agar tidak tertawan dengan  segala godaan. Kewaspadaan dalam kehidupan keseharian itu adalah sifat takwa. Orang yang bertakwa adalah orang yang mulia pada sisi Allah s.w.t.
 
Walau jalan mana yang dilalui tujuannya adalah memperoleh ikhlas, berserah diri dan bertakwa.

SIKAP ORANG BODOH

TIDAK MENINGGALKAN SEDIKIT PUN DARI KEBODOHAN BAGI SIAPA SAJA YANG BERKEHENDAK MENGADAKAN PADA SESUATU MASA, SESUATU YANG LAIN DARI APA YANG DIJADIKAN ALLAH S.W.T PADA MASA ITU.
 
Dalam perjalanan menuju Allah s.w.t ada sebagian orang yang tertinggal di belakang walaupun mereka sudah melakukan amal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang lain yang lebih maju. Satu halangan yang menyekat golongan yang tertinggal itu adalah kebodohannya yang tidak mau tunduk kepada ketentuan Allah s.w.t. Dia masih dipermainkan oleh nafsu dan akal yang menghijab hatinya dari melihat Allah s.w.t dibanding yang dilihat.nya Pandangannya hanya tertuju kepada alam, benda dan perkara zahir saja. Dia hanya melihat kepada ketentuan hukum sebab-musabab dan hanya bergantungan kepada amalnya. Dia yakin yang  dengan mendapatkan apa yang dia inginkan melalui usahanya.
 
Keadaan orang yang disebutkan di atas telah disentuh pada Hikmah 1. Ketika rohani orang lain telah maju di dalam menuju Allah s.w.t dia masih  saja berputar-putar di dalam kesamaran dan keraguan. Nafsunya tetap melahirkan keinginan-keinginan. Keinginan diri sendiri menjadi rantai yang mengikat kaki daripada berjalan menuju Allah s.w.t. Bagaimana bisa seseorang mendekati Allah s.w.t jika dia enggan menjadikan Allah s.w.t sebagai Pengurus semua aspek kehidupannya. Walau para hamba rela atau membantah, Allah s.w.t tetap melaksanakan ketentuan-Nya. Allah s.w.t melaksanakan kehendak-Nya pada setiap masa dan tidak ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya.
 
Tiap-tiap masa Ia (Allah) di dalam urusannya (menciptakan makhluk-makhluk-Nya).
( Ayat 29 : Surah ar-Rahman )
 
Allah s.w.t saja yang mencipta, meletakkan hukum dan peraturan, memberikan rezeki dan lain-lain. Dia menentukan urusan dengan bijaksana dan adil, termasuk urusan mengenai diri kita dan apa yang terjadi pada kita. Kita memandang diri kita dan kejadian yang menimpa kita dalam lingkup yang kecil. Allah s.w.t  melihat kepada seluruh alam dan semua kejadian, tanpa keliru pandangan-Nya kepada diri kita dan kejadian yang menimpa kita, juga tidak beralih pandangan-Nya dari makhluk-Nya yang lain.
 
Urusan-Nya adalah menyeluruh dan sempurna. Orang yang tidak berbekas pada hatinya akan kesempurnaan Allah s.w.t itu adalah orang dungu. Dia masih juga membantah tentang perjalanan hukum takdir Ilahi, seolah-olah Tuhan harus tunduk kepada hukum makhluk-Nya. Bagi murid yang cenderung mengikuti latihan kerohanian perlulah berusaha untuk melenyapkan kehendak diri sendiri dan hidup dalam ketentuan Allah s.w.t. Jangan sekali-kali bermain-main dengan takdir, karena Penentu Takdir tidak pernah berbincang dengan siapa pun dalam menentukan arus ketentuan-Nya.
 
Jika kita mau mengenali Allah s.w.t kita tidak boleh melihat-Nya pada satu aspek saja. Jika kita melihat Allah al-Ghafur (Maha Pengampun), kita juga harus melihat Allah al-‘Aziz (Maha Keras). Jika kita melihat Allah al-Hayyu (Yang Menghidupkan) kita juga harus melihat Allah al-Mumit (Yang mematikan). Jika kita dapat melihat semua Sifat-sifat Allah s.w.t dalam satu kesatuan barulah kita dapat mengenali-Nya dengan sebenar-benarnya. Bila Allah s.w.t dikenali dalam semua aspek, hikmah kebijaksanaan-Nya dalam menentukan suatu perkara pada sesuatu masa tidak terlindung lagi dari pandangan mata hati.
 
Hati yang tidak mau tunduk kepada Yang Maha Pengatur tidak akan menemui kedamaian. Waktu, ruang dan kejadian akan membuatnya gelisah karena nafsunya tidak dapat menguasai semua itu. Dia inginkan sesuatu perkara pada satu masa sedangkan Maha Pengatur inginkan perkara lain. Kehendak makhluk tidak dapat mengatasi kehendak Tuhan. Jika mau hati kita menjadi tenteram usahakan agar hati sentiasa ingat kepada Allah s.w.t.
 
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan  tenteram hati mereka dengan zikrullah”. Ketahuilah! Dengan “zikrullah” itu,  tenteramlah hati manusia. (Ayat 28 : Surah ar-Ra’d)
  Berimanlah kepada Allah s.w.t dan beriman juga kepada takdir. Lepaskan Faham sebab musabab yang menjadi pagar nafsu menutup hati.

Tidak ada kesusahan (atau bala bencana) yang menimpa (seseorang) melainkan dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah, Allah akan memimpin hatinya (untuk menerima apa yang telah berlaku  dengan tenang dan sabar); dan (ingatlah), Allah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu. ( Ayat 11 : Surah at-Taghaabun )

ALLAH S.W.T DAN MAKHLUK CIPTAANNYA

DI ANTARA BUKTI YANG MENUNJUKKAN ADANYA KEPERKASAAN ALLAH S.W.T YANG LUAR BIASA ADALAH YANG DAPAT MENGHIJAB ENGKAU DARI MELIHAT KEPADA-NYA DENGAN HIJAB YANG TIDAK ADA WUJUDNYA DI SISI ALLAH S.W.T.
BAGAIMANA DISANGKA ALLAH S.W.T DAPAT DIHIJAB OLEH SESUATU PADAHAL DIA YANG MENZAHIRKAN SEGALA SESUATU.
BAGAIMANA MUNGKIN AKAN DIHIJAB OLEH SESUATU PADAHAL DIA YANG TAMPAK ZAHIR PADA SEGALA SESUATU.
BAGAIMANA AKAN MUNGKIN DIHIJAB OLEH SESUATU PADAHAL DIA YANG TERLIHAT DALAM TIAP SESUATU.
SESUATU BAGAIMANA AKAN DAPAT DITUTUP OLEH SESUATU PADAHAL DIA YANG TAMPAK PADA TIAP SEGALA SESUATU. BAGAIMANA MUNGKIN DIHIJAB OLEH PADAHAL DIA YANG ADA ZAHIR SEBELUM ADA SESUATU.
 
BAGAIMANA MUNGKIN DIHIJAB OLEH SESUATU PADAHAL DIA YANG LEBIH NYATA DARI SEGALA SESUATU.
BAGAIMANA MUNGKIN AKAN DIHIJAB OLEH SESUATU PADAHAL DIA YANG ESA, TIDAK ADA DI SAMPING-NYA SESUATU APA PUN.
BAGAIMANA AKAN DAPAT DIHIJAB OLEH SESUATU PADAHAL DIA YANG LEBIH DEKAT KEPADA KAMU DARI SEGALA SESUATU.

BAGAIMANA MUNGKIN AKAN DIHIJAB OLEH SESUATU, ANDAINYA TIDAK ADA ALLAH S.W.T NISCAYA TIDAK ADA SEGALA SESUATU.
ALANGKAH AJAIBNYA BAGAIMANA NAMPAK WUJUD DI DALAM ‘ADAM (YANG TIDAK WUJUD), ATAU BAGAIMANA DAPAT BERTAHAN SESUATU YANG RUSAK BINASA ITU DI SAMPING ZAT YANG BERSIFAT KEKAL.
Alam ini kesemuanya adalah gelap gelita sedang yang meneranginya adalah karena nampak Wujud Allah s.w.t padanya. Pada hakikatnya alam ini tidak wujud, Allah s.w.t jua yang wujud. Tetapi apa yang terlihat kepada kita adalah alam semata-mata, sedangkan Allah s.w.t yang lebih nyata menjadi terlindung daripada pandangan kita. Allah s.w.t yang menzahirkan segala sesuatu, bagaimana sesuatu itu pula menghijabkan-Nya. Allah s.w.t yang tampak nyata pada segala sesuatu, bagaimana pula Dia terlindung. Allah s.w.t adalah Maha Esa, tiada sesuatu beserta-Nya, bagaimana pula Dia dihijab oleh sesuatu yang tidak wujud di samping-Nya.
 
Hati akan hanya diisi dengan iman (percaya) atau ragu-ragu. Jika Nur Ilahi menyinari hati maka mata hati akan melihat dengan iman. Seandainya pandangan mata hati  tidak bersuluhkan Nur Ilahi maka apa yang dipandangnya akan membawa keraguan dalam bentuk pertanyaan ‘bagaimana’. Pertanyaan ‘bagaimana’ itu merupakan ujian tentang Allah s.w.t.  Seorang hamba dapat memberi rangsangan untuk menambahkan pengetahuan tentang Tuhan. Jika tidak dikawal ia akan mendorong kepada pembahasan yang tidak ada penyelesaian nya, karena bidang ilmu sangat luas, tidak mungkin habis untuk di Jika kita ikuti pembahasan ilmu, kita akan mati dahulu sebelum sempat mendapat jawaban penghabisan. Oleh karena itu letakkan garisan penamat kepada ilmu dan masuklah ke dalam iman. Iman menghilangkan keraguan dan tidak perlu bersandar kepada bukti dan dalil-dalil.
 
Pengalaman hakikat akan menghapuskan pertanyaan ‘bagaimana’. Apabila keraguan datang, ia akan disambut dengan jawaban, “Dengan Dia aku mengenal sifat-Nya, bukan dengan sifat-Nya aku mengenal Dia. Dengan Dia aku mengenal ilmu pengetahuan, bukan dengan ilmu pengetahuan aku mengenal Dia. Dengan Dia aku mengenal makrifat bukan dengan makrifat aku mengenal Dia”.
 
Apabila hati sudah diisi dengan iman pertanyaan ‘bagaimana’ akan menguatkan keinginan untuk membuka Rahasia Ilahi yang menyelubungi alam maya ini. Jika dia tidak mampu memahami sesuatu tentang Rahasia Ilahi itu, maka dia akan tunduk dan mengakui dengan kerendahan hatinya bahwa benteng keteguhan Allah s.w.t tidak mampu dipecahkan oleh makhluk-Nya.  
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

LISTEN TO QUR'AN

Listen to Quran